Kamis, 24 Februari 2011

Dualisme antara Universalitas dan Historisitas Teks Agama

Dualisme antara Universalitas dan Historisitas Teks Agama
Oleh; Achmad Zuhairuzzaman*)

A. Pendahuluan
KETIKA semakin banyak kalangan yang mempertanyakan sebatas manakah kemampuan Fiqh Islami mengejar laju kecepatan era globlalisasi dengan problematikanya yang semakin kompleks ini, banyak di antara sebagian pemikir kontemporer menawarkan beberapa solusi yang cukup kontroversial dan mampu mencuri perhatian kalangan muda nan progresif untuk kemudian menjadi missionaris wacana-wacana pemikiran mereka. Mereka menilai kejumudan Fiqh ada karena metodologi istinbath hukum yang terkodifikasi dalam ilmu Ushul Fiqh tidak lagi mumpuni menelurkan produk hukum yang sesuai kebutuhan zaman, sehingga sudah menjadi keniscayaan perlunya pembaharuan Ushul Fiqh secara aktual.
Pembaharuan yang mereka kampanyekan menurut penulis bisa disimpulkan dalam dua gambaran; Pertama, pembaharuan secara radikal dengan mengganti corak tranferensial (naqliyah) menjadi lebih rasional ('aqliyah), seperti memenangkan dalil mashlahat ketika berbenturan dengan nash al-Quran atau al-Hadits. Kedua, reaktualisasi pendapat-pendapat lemah mengenai kaidah Ushul Fiqh yang mereka anggap kontekstual dan meninggalkan kaidah yang tekstual-literal. Hal ini karena mereka memandang Ushul Fiqh selama ini telah memperlamban produktifitas hukum Fiqh, karena begitu bergantungnya mayoritas ulama Ushul Fiqh pada entitas teks dan banyak mengesampingkan atribut kontekstual-nya, termasuk sisi historisitas-nya, seperti tergambarkan dalam perbedaan pendapat mengenai dua kaidah yang akan menjadi fokus pembahasan dalam tulisan ini. Jadi, bagaimanakah sebenarnya perbedaan pendapat tersebut? Apakah sebagaimana dalam anggapan pemikir liberal? Penulis mencoba menyajikannya dalam kajian problematika dualisme antara universalitas dan historisitas teks agama, dan mengajak para diskusan untuk mendiskusikannya agar semakin matang dan meneliti kesalahan yang ada, sehingga manambah pengetahuan bersama.

B. Kaidah Pertama: "al-'Ibrah bi 'Umum al-Lafdhi La bi Khusus al-Sabab"
Kaidah pertama ini, dan juga kaidah kedua, terdapat dalam kasus permasalahan ketika sebuah teks yang secara semantik (ilmu dalalat al-alfadz) menunjukkan makna umum, menjawab dengan independen (istiqlal) suatu persoalan atau kasus yang lebih spesifik. Maka pendapat jumhur ulama Ushul Fiqh adalah mengutamakan pemahaman dari sudut keumuman makna teks, dan bukan hanya dari latar belakang turunnya teks tersebut (background historis). Pendapat ini berdasarkan pada eksisnya faktor semantik (wujudul muqtadli al-dalalah) yang menunjukkan makna umum dalam teks tersebut tanpa ada sesuatu mani' (pencegah) yang mencegah eksistensinya. Dan selain itu juga, tidak adanya pertentangan antara teks umum ('amm) dan sabab al-nuzul (background historis), sehingga masih memungkinkan untuk mengaplikasikan kandungan teks secara umum pada sabab al-nuzul maupun kasus-kasus lainnya yang serupa[1].
Hal di atas (pengaplikasian kandungan teks pada selain sabab al-nuzul) tidak bisa dikatakan sebagai metode qiyas (analogi), karena kaidah ini justru berdasarkan pada ilmu dalalat al-alfadz yang memang menjadi bagian penting dari metode pemahaman teks bahasa. Oleh karena itu, sebagian ulama berpendapat mengenai definisi dalalah wadl'iyyah lafdziyyah, ialah pemahaman si pendengar mengenai makna yang terkandung dalam suatu lafadz[2] (teks).
Mengenai penerjemahan kaidah ini, banyak terjadi kesalahpahamanan sebagaimana diutarakan oleh KH. M. Sahal Mahfud dalam Fiqh Sosialnya. Beliau menjelaskan, "Satu kaidah dalam Ushul Fiqh yang barangkali dianggap orang sebagai menggiring Fiqh kepada bentuk yang tidak kontekstual, adalah al-'ibrah bi 'umum al-lafdhi la bi khusus al-sabab. Kaidah ini banyak diterjemahkan begini, "Yang menjadi perhatian di dalam menetapkan hukum fiqh adalah rumusan (tekstual) suatu dalil, bukan sebab yang melatarbelakangi turunnya ketentuan (dalil) tersebut". Menerjemahkan "la" dengan "bukan" seperti terjemahan di atas adalah salah! "La" di situ berarti 'bukan hanya" (la li al-'athaf bukan la li al-istidrak). Jadi latarbelakang, asbab al-nuzul maupun asbab al-wurud (sebab-sebab turun ayat al-Quran dan al-Hadits), tetap menjadi pertimbangan penting dan utama. Terjemahan yang benar dari kaidah itu adalah "Suatu lafadh (kata atau rumusan redaksional sebuah dalil) yang umum ('amm), mujmal maupun muthlaq (yang berlaku umum) harus dipahami dari sudut keumumannya, bukan hanya dari latarbelakang turunnya suatu ketentuan." Dengan demikian, ketentuan umum itu pun berlaku terhadap kasus-kasus cakupannya, meskipun mempunyai latarbelakang berbeda. Sebab jika dalil-dalil al-Quran maupun al-Hadits hanya dipahami dalam konteks ketika diturunkannya, maka akan banyak sekali kasus yang tidak mendapatkan kepastian hukum."[3]
Dan sebagaimana diutarakan olah Mbah Sahal di atas, sabab al-nuzul memang masih menjadi pertimbangan. Hal ini terbukti dalam kasus larangan pembunuhan terhadap wanita kafir dan anak-anak kafir, yang mana keumuman teks larangan tersebut oleh sebagian ulama (Syafi'iyyah) dikhususkan dengan sabab al-nuzul, yaitu pelarangan tersebut ditetapkan oleh Rasulullah saw pada waktu Beliau saw melihat seorang wanita terbunuh dalam salah satu peperangan. Maka, proses spesifikasi (takhshish) tersebut menyimpulkan ketentuan hukum bahwa larangan tersebut hanya berlaku pada wanita harbiyyat, dan tidak mencakup murtaddah[4]. Namun ada pertanyaan yang mungkin bisa kita bahas pada diskusi kali ini, yaitu sebatas manakah sabab al-nuzul menjadi pertimbangan yang kuat dan mampu menjadi mukhosshish terhadap teks umum?

C. Kaidah Kedua: "al-'Ibrah bi Khusus al-Lafdhi La bi 'Umum al-Sabab"
Kaidah yang kedua ini adalah pendapat dari Abu Tsaur, al-Muzanny, al-Daqqaq dan al-Qoffal dari kalangan Syafi'iyyah, dan juga dinukil dari Imam Malik ra[5]. Tendensi pendapat ini adalah, jika teks umum tersebut tidak dikehendaki kekhususannya berdasarkan sabab al-nuzul-nya, maka penyebutan sabab al-nuzul dalam satu riwayat dengan teks umum, tidak lagi mempunyai faidah, bahkan seperti penyebutan yang percuma (al-'abats), dan hal ini tidak layak bagi kapasitas orang yang berakal, terlebih bagi al-Syari'. Namun tendensi tersebut bisa dimentahkan olah mayoritas ulama dengan menafikan kesia-siaan penyebutan sabab al-nuzul, yaitu adanya faidah berupa penjelasan bahwa sabab al-nuzul secara pasti (qoth'i) telah tercakup dalam keumuman teks dan tidak bisa dikeluarkan dari keumumannya baik melalui motode qiyas atau lainnya[6].
Dan meskipun di antara dua kaidah di atas tampak pertentangan yang mencolok, namun ada beberapa permasalahan furu'iyyah (cabang hukum) yang disepakati oleh seluruh ulama, baik dari kalangan pendapat pertama ataupun kalangan pendapat kedua, bahwasanya sebagian kandungan teks hukum juga bisa diaplikasikan pada kasus lain yang serupa dengan sabab al-nuzul, seperti hukum li'an dalam kisah Hilal bin Umayyah, hukum dzihar pada kisah Salamah bin Shokhr, hukum qodzaf pada kasus pemfitnah Sy. Aisyah ra dan masih banyak lagi. Hukum yang telah disepakati tersebut bagi kalangan pendapat pertama adalah karena berdasarkan konsekuensi keumuman teks, sedangkan bagi kalangan pendapat kedua adalah karena berdasarkan dalil lain[7].

D. Paralogisme Liberalis Mengenai "al-'Ibrah bi Khusus al-Lafdhi La bi 'Umum al-Sabab"
Sebagaimana telah disinggung dalam pendahuluan, bahwa telah banyak usaha dari sebagian pemikir liberal untuk mengubah kecondongan tekstual Ushul Fiqh yang selama ini kita ketahui telah melahirkan banyak madzhab pada kurun waktu empat abad pertama hijriyah. Diantaranya adalah mewacanakan kembali kaidah "al-'Ibrah bi khusus al-Lafdhi La bi 'Umum al-Sabab". Namun mereka tidak berhenti di situ saja, bahkan mereka justru berangkat dari kaidah ini guna menuju beberapa kesimpulan yang mengajak kita untuk berani keluar dari "kekuasaan teks" (sulthah an-nash). DR. Hasan Hanafi menjelaskannya sebagaimana berikut, "Dalam perbincangan historisitas al-Quran, hampir semua ayat di dalamnya mempunyai background histories-nya (sabab al-nuzul). Ini berarti teks-teks tersebut turun guna merespon permasalahan dalam tataran realitas waktu itu. Selain itu, dalam al-Quran juga terdapat konsep abrogasi (naskh). An-naskh berarti bahwa hukum-hukum Syariat berubah sesuai dengan berubahnya zaman, bahwa berubahnya zaman mengakibatkan perubahan hukum Syara'; bersifat kontekstual."[8] Kesimpulan-kesimpulan tersebut dikenal juga dengan istilah konsep ta`wil zamany (interpretasi historisitas teks). Pengusung konsep ini mengatakan, "Bentuk kalimat khithob "ya ayyuhan nas" dalam al-Quran al-Karim yang dimaksud adalah umat pertama yang berada dalam masa hidup Nabi Muhammad 'alaihis sholatu was salam, dan mendengar al-Quran langsung dari beliau saw."[9]
Namun, setelah kita bahas kaidah kedua yang di atas, menurut penulis, ada paralogisme (mugholathoh) dalam wacana reaktualisasi kaidah yang dibawa oleh pemikir liberal, karena konskuensi wacana mereka tidaklah sama persis dengan konsekuensi kaidah yang diusung oleh Abu Tsaur, al-Muzanni dan lainnya dari kalangan ulama pendahulu. Para ulama pendahulu tersebut tidak mengklaim kaidah mereka sebagai dasar naskh karena perubahan zaman, dan yang paling mendasar, mereka masih mengakui hujjah lain untuk mengaplikasikan kandungan teks umum pada selain sabab al-nuzul, seperti yang telah dicontonhkan di atas. Mereka masih memungkinkan masuknya konsep ijma' (konsensus), qiyas (analogi) dan dalil lainnya dalam permasalahan ini.
Juga mengenai permasalahan khithab "ya ayyuhan nas" sebenarnya bukanlah hal baru, karena telah dibahas oleh ulama kita. Benar bahwa bentuk khithab "ya ayyuhan nas" adalah ditujukan pada umat yang berada pada masa turunnya khithab tersebut. Hal ini adalah pendapat mayoritas ulama, karena berdasarkan pada tekstual bentuk khithab yang memang secara dalalah-nya hanya patut ditujukan pada umat masa itu. Berbeda dengan kalangan Hanabilah dan Abu al-Yasr dari Hanafiyah, yang mengatakan khithab "ya ayyuhan nas" secara dalalah-nya juga mencakup umat setelahnya. Namun bagaimanapun perbedaan pendapat ini, hanyalah menghasilkan khilaf lafdzy yang tidak berkonsekuensi apapun, termasuk ta`wil zamany. Karena mereka semua sepakat (ijma'), bahwa kandungan khithab "ya ayyuhan nas" dan semisalnya adalah universal, mencakup juga umat setelah masa kenabian, hanya saja mereka berselisih apakah universalitas tersebut berdasarkan dalalah lafadz ataukah qiyas syar'i, ijma' dan sebagainya[10].
Pada akhirnya, paralogisme tersebut haruslah mereka akui, mengingat konsekuensi wacana mereka telah melanggar ijma' ulama, kecuali jika mereka tidak mengakui hujjah ijma', agar bisa menutupi celah kesalahan mereka. Belum lagi, jika kita terapkan wacana mereka, maka akan berakibat kekosongan hukum, sebagaimana dawuh Mbah Sahal, "Sebab jika dalil-dalil al-Quran maupun al-Hadits hanya dipahami dalam konteks ketika diturunkannya, maka akan banyak sekali kasus yang tidak mendapatkan kepastian hukum." Dan jika mereka mengatakan, kekosongan hukum itu adalah kesempatan kita untuk menerapkan metodologi rasional dan meninggalkan metodologi transferensial, maka sekali lagi mereka berbenturan dengan ijma' ulama terdahulu.
Adapun sebagian ijtihad Sy. Umar bin al-Khatthab yang dijadikan referensi contoh wacana mereka, sebenarnya telah banyak ulama kontemporer, seperti DR. M. Sa'id Ramdlam al-Buthy, yang mengkaji kesalahpahaman dalam rujukan mereka. Dengan penjelasan ilmiah yang memuaskan[11], terbukti bahwa ijtihad Sy. Umar ra pun tidak meninggalkan nash atau melanggar ijma'. Dan jika mereka masih kukuh dengan wacana tersebut dan tidak mengakui hujjah ijma', maka tidak akan ada lagi titik temu dalam perdebatan pembaharuan Ushul Fiqh yang mereka kampanyekan.

E. Penutup
Dualisme antara universalitas teks dan historisitasnya dalam Ushul Fiqh ternyata telah menjadi pembahasan klasik ulama Salaf. Namun, pada perbedaan pendapat antar mereka, masih memungkinkan untuk mempertemukannya -dalam beberapa permasalahan furu'iyyah- pada kesepakatan universalitas teks mencakup kasus lain yang serupa dengan background histories-nya (sabab al-nuzul). Begitu pula mengenai perbedaan pendapat dalam khithab "ya ayyuhan nas", hanyalah khilaf lafdzi yang berujung pada konsensus ulama, bahwa Syari'at Islam mencakup pula terhadap umat setelah masa kenabian sampai hari akhir nanti; Alyauma akmaltu lakum dînakum wa atmamtu 'alaikum ni'matî wa rodlîtu lakumul Islâma dînâ.
Ushul Fiqh sebenarnya tidak pernah menutup pintu ijtihad sampai kapan pun, bahkan menunjukkan peta jalan bagi calon mujtahidin yang memang benar-benar berusaha untuk menguasai bidang Fiqh. Namun, sebagaimana dikatakan oleh Sayyid Muhammad bin Bashri al-Seggaff, bahwa Fuqaha' adalah pewaris amanat risalah dengan kemampuan mereka berijtihad, menjelaskan hukum Syariat, yang sebenarnya adalah tugas Rasulallah saw. Terilhami keistimewaan inilah, Ibnu Qoyyim al-Jauziyah (751 H) menamakan kitabnya dengan nama "I'lamul Muwaqqi'in 'an Robbil 'Alamin", yang berarti "Informasi orang-orang yang bertanda tangan atas nama Tuhan semesta alam". Oleh karenanya, sangatlah tidak layak meletakkan teks agama kita pada metodologi yang jauh dari petunjuk Syariat.
Dalam Ushul Fiqh, telah kita pelajari bahwa semua dalil hukum, baik yang muttafaq 'alaih ataupun yang mukhtalaf fih, telah lebih dahulu dibahas tentang kelayakan hujjiyah-nya sebagai dalil hukum Syariat. Maka sudah seharusnya yang mesti dilakukan para pemikir liberal, jika tetap ingin menggunakan konsep mereka, terlebih dahulu menguji kelayakan konsep mereka dengan standar uji dalil yang telah muttafaq 'alaih. Dan pada akhirnya, tetap jelas konsep mereka tidaklah sesuai dengan dalil Syar'i yang lain, terutama ijma'.
Adapun opini miring tentang kejumudan Fiqh karena sempitnya ruang gerak dalam Ushul Fiqh, penulis kira hanyalah sikap "putus asa" akan keterbelakangan peradaban (kalimat dalam tanda petik bisa kita diskusikan bersama). Sebelumnya, telah banyak tuduhan palsu atas Syariat Islam, bahkan banyak orientalis menuduh Fiqh yang pernah jaya pada masa keemasan Islam dahulu, adalah produk hukum yang diserap dari peradaban Romawi. Padahal semua itu adalah produk orisinil dari metodologi Ushul Fiqh yang pada prinsipnya diambil dari semantik gramatikal Arab untuk memahami bahasa teks al-Quran dan al-Hadits, mencakup pula beberapa konsep dalil yang terkelompokkan pada dalalah ma'nawiyah, seperti ijma', qiyas, maslahah mursalah, istihsan, dsb.
Bagaimanapun, aktivitas Fiqh tidak boleh berhenti dan memang tidak pernah berhenti. Banyak ijtihad kolektif yang ditawarkan[12], banyak musyawarah bahtsul masail yang digalakkan, dan banyak fatwa-fatwa ulama yang faqih dibukukan, tanpa melupakan dan tetap menghargai perbedaan pendapat antar ulama yang pada hakikatnya merupakan rahmat bagi kita dalam permasalahan furu'iyyah. Namun, jangan harap kesemuanya akan melegalkan atau menghalalkan segala aktivitas peradaban globalisasi, karena yang halal itu jelas dan yang haram juga sudah jelas!
Wallau a'lam.

___________________________________
[1]. Ushulul Fiqh, Vol: II, Hal: 352-353, DR. Muhammad Abun Nur Zuhair (1407 H./1987 M.), Darul Bashair.
[2]. Namun, yang lebih mu'tamad adalah adanya suatu lafadz yang ketika diucapkan maka bisa difaham kandungan maknanya oleh orang yang mengerti tentang peletakan dasar bahasa. Ushulul Fiqh, DR. Muhammad Abun Nur Zuhair, Vol: II, Hal: 8, Darul Bashair.
[3]. Nuansa Fiqh Sosial, sub tema "Ijtihad Sebagai Kebutuhan", KH. M. A. Sahal Mahfudh.
[4]. Al-Ghoitsul Hami' komentar Jam'ul Jawami', Vol: II, Hal: 398, Abu Zar'ah Ahmad al-'Iroqy (826 H.), cet: al-Faruq al-Haditsah. Lihat juga Ghoyatul Wushul komentar Lubbul Ushul, Hal: 270, Abu Yahya Zakariyya al-Anshary (926 H.) Dinatama Surabaya.
[5]. Al-Ghoitsul Hami' komentar Jam'ul Jawami', Vol: II, Hal: 396. dan Ushulul Fiqh, Vol: II, Hal:352, Darul Bashair. Namun, pendapat masyhur kalangan Malikiyah adalah kaidah yang pertama, lihat Amali al-Dalalat wa Majali al-Ikhtilafat, Hal: 253, Abdullah bin Bayyah, Dar al-Minhaj.
[6]. Ushulul Fiqh, Vol: II, Hal:353, Darul Bashair.
[7]. Amali al-Dalalat wa Majali al-Ikhtilafat, Hal: 255, Abdullah bin Bayyah, Dar al-Minhaj.
[8]. Jurnal Nuansa edisi XVII, Maret 2010, wawancara DR. Hasan Hanafi, Reaktualisasi Metode Pembacaan Turats, Hal: 52, Lakspesdam NU Mesir.
[9]. Ushulul Fiqh, Vol: I, Hal: 23, Mukaddimah dari DR. Muhammad Salim Abu 'Ashi (1407 H./1987 M.), Darul Bashair.
[10]. Al-Ghoitsul Hami' komentar Jam'ul Jawami', Vol: II, Hal: 351. Dalam kitab Taysir al-Tahrir komentar kitab al-Tahrir, bahwa sebenarnya universalitas tersebut sudah bagian ma'lum min al-Din bi al-dlorurah. Taysir al-Tahrir komentar kitab al-Tahrir, Vol: I, Hal: 256, Muhammad Amin Amir Badsyah al-Husaini al-Hanafi, Dar al-Kutub al-Ilmiah.
[11]. Lebih jelasnya, lihat Dlowabith al-Mashlahah, DR. M. Said Romdlon al-Buthi, Hal: 152-175, Dar al-Fikr.
[12]. Mengenai aktivitas Fiqh kontemporer, bisa kita baca penjelasan Syaikh Abdullah bin Bayyah dalam Amali al-Dalalat wa Majali al-Ikhtilafat, Hal: 317 dan mengenai aktivitas ijtihad kolektif pada hal: 659-671, Dar al-Minhaj.
*) Penulis adalah mahasiswa tingkat IV fakultas Syariah, Universitas al-Ahgaff; Tarim-Hadhramaut-Yaman.

Senin, 17 Januari 2011

Telaah Kritis Metode Kodifikasi Ushul Fiqih Hanafi

Telaah Kritis Metode Kodifikasi Ushul Fiqih Hanafi
Oleh: Muhammad S

A. Pembukaan
Bagaimana proses kodifikasi Ushul Fiqh Hanafi? Seperti apakah contohnya? Apa saja akibat yang ditimbulkan oleh metode ini? Jika dibandingkan dengan metode ushul fiqh Syafi’iah (Jumhur), metode manakah yang lebih kuat?
Pertanyaan-pertanyaan di atas merupakan ide pokok dari penulisan kajian ini. Untuk menjawabnya, perlu kajian mendalam terhadap buku-buku ushul fiqh Hanafi secara langsung. Karena keterbatasan waktu dan keahlian, akhirnya penulis hanya bisa mencapai informasi yang minim. Dimohon kepada diskusan untuk ikut memperkaya informasi untuk menjawab pertanyaan di atas.

B.Tinjauan Historis Kodifikasi Ushul Fiqh Hanafi
Secara global, buku-buku ushul yang pernah saya baca memberikan informasi bahwa ushul fiqh Hanafi disusun dengan metode induktif, artinya ushul mereka ditulis dengan bertumpu pada furu’ yang telah ditulis oleh para imam mereka (mis. Abu Hanifah (80-150 H), Muhammad bin Hasan(131-189 H), dan Abu Yusuf (113-182 H)). Kemudian ulama generasi berikutnya menyimpulkan suatu kaidah yang bisa dijadikan acuan para mujtahid generasi setelah mereka.
Setelaah melihat beberapa contoh kitab ushul milik ulama Hanafi, seperti ushul Al-Kurkhi (260-340 H) & Al-Baidlowi (w. 685 H), saya dapat menyimpulkan bahwa informasi di atas adalah benar. Karena memang mereka mengambil kesimpulan kaidah ushuliyyah dari contoh-contoh hasil ijtihad Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf & Muhammad bin Hasan.
Namun, ada juga pendapat yang menyebutkan bahwa ulama Hanafiah dalam menyusun kaidah ushuliyyah terbagi menjadi dua golongan;
1. Golongan yang memiliki dua keahlian sekaligus (ilmu fiqh dan ushul fiqh). Tulisan mereka sangat compatabel dan akurat. Mereka mampu menjabarkan kaidah ushuliyyah dengan hujjah yang kuat tanpa harus keluara dari madzhab. Contohnya adalah Kitabul Jadal karya Imam Maturidi (w. 330 H).
2. Golongan yang lebih cenderung ke dalam ilmu fiqh disebabkan ilmu ushul mereka yang kurang mumpuni. Karya-karya mereka lebih cenderung ke ilmu furu’. Bahkan tidak sedikit yang mendahulukan pernyataan-pernyataan kaidah ushul dari madzhab lain1.
Dari keterangan di atas, Dr. Jalaluddin Abdurrahman berkesimpulan bahwa pada mulanya ulama Hanafiah memiliki cara penulisan kaidah ushul tersendiri, bukan seperti cara ushul yang masyhur dinisbatkan pada mereka saat ini. Akan tetapi, karena cara yang kedua lebih banyak diikuti oleh ulama mereka, akhirnya mereka lebih dikenal dengan ulama ushul 'ala Fuqaha2.

C.Ciri-ciri Ushul Fiqh Hanafi
1. Kaidah ushul fiqh mereka didasarkan pada masalah furu’iyyah.
Penyebabnya adalah karena Imam Abu Hanifah tidak meninggalkan kitab yang berisi kaidah ushuliyyah yang dapat dijadikan acuan. Tidak heran jika para ulama generaasi berikutnya terpaksa harus mengambil kaidah ushul dari masalah furu’iyyah yang sudah ada dengan cara mengambil kesimpulan atas beberapa contoh masalah yang sama. Untuk lebih jelas, akan saya berikan contoh pada poin berikutnya.
2. Karya-karya ushul mereka dipenuhi dengan permasalahan-permasalahan fiqh.
3. Terkadang mereka terpaksa membuat kaidah khusus demi mendukung satu permasalahan fiqh.
Misalnya, mereka telah membuat satu kaidah. Kemudian ada salah satu contoh masalah yang tidak dapat dimasukkan dalam kaidah tersebut -karena Sang Imam menentukan hukum masalah ini tidak sama dengan masalah-masalah lain yang sejenisnya-, maka mereka membuat kaidah khusus untuk mendukung masalah ini.

D. Contoh Penulisan Ushul Fiqh Hanafi
Sebenarnya, setiap orang yang membaca kitab ushul Hanafi akan langsung menemukan contoh metode penulisan ala thoriqatil Fuqaha. Dalam kesempatan ini, saya akan menuliskan satu contoh saja;
“Lafadz yang bersifat umum ('aam) mencakup setiap unit di bawahnya (afrodul 'aam) secaara qoth’i. Dalam artian semua unit yang masuk dalam cakupan kata umum, hukumnya sama rata dengan lafadz umum tersebut. Jika kata umum tersebut bersifat qoth’i, maka semua unit cakupannya pun bersifat qoth'i dan tidak dapat dikecualikan kecuali dengan dalil yang qoth'i.” Kaidah ini menjadikan dilalah lafadh umum setara dengan dilalah lafadh khusus dan lafadh umum bisa menghapus (naskh) lafadh khusus saat terjadi kontradiksi."
Pernyataan di atas merupakan kaidah ushuliyyah yang berlaku untuk semua lafadz umum. Dalam menetapkan kaidah di atas ulama Hanafi bertumpu pada masa'il furu’iyyah yang mereka ambil dari para pendahulu mereka. Diantaranya:
1. Pendapat Muhammad bin Hasan tentang permasalahan wasiat;
Jika ada seseorang berwasiat agar cincinnya diberikan pada si A kemudian di waktu lain dia berwasiat agar batu mata cincin tersebut diberikan pada si B, maka si A berhak mendapatkan ring cincin. Sedangkan batu mata cicin, dibagi dua antara si A dan si B. Hal ini karena kata cincin pada wasiat pertama mencakup ring cincin dan batu matanya. Sedangkan pada wasiat yang kedua, hanya matanya saja. Wasiat yang kedua tidak bisa mengeliminasi (naskh) wasiat yang pertama, karena memang batu mata cincin masuk dalam wasiat pertama (melalui lafadh aam), namun karena kedua wasiat itu sah, maka batu mata cincin dibagi dua.
Andai saja wasiat kedua itu diucapkan pada satu majlis tanpa ada jeda antara dua wasiat, maka si A hanya berhak ring cincin saja tanpa batu matanya, kaarena lafadz cincin yang dimaksudkan tidak mencakup batu matanya.
2. Pendapat Muhammad bin Hasan dalam bab Mudharabah. Jika 'Amil dan Rabbul maal berselisih tentang lafadz umum dan khusus, maka yang dimenangkan adalah pihak yang mengatakan lafadz umum. Hal ini menunjukkan kedudukkan lafadh umum sejajar dengan lafadh khusus.
3. Madzhab Imam Abu Hanifah dalam men-tarjih hadist Nabi saw. yang mengandung lafadh umum; “Barang siapa menggali sumur, maka ia memiliki hak atas tanah di sekitarnya seluas 40 dzira’." Dan beliau meninggalkan hadits yang menunjukkan lafadz khusus, yaitu hadits sumur Nadhih, yang mengaatakan bahwa penggalinya berhak atas tanah di sekitarnya seluas 60 dzira’.
4. Madzhab Imam Abu Hanifah dalam men-tarjih hadits; “Semua yang disirami dengan air hujan, (zakatnya) adalah sepersepuluh!” dan meninggalkan hadits khusus; “Tidak diwajibkan berzakat atas sayur-mayur!”, plus hadits “Tidak diwajibkan berzakat atas hasil panen yang kurang dari lima ausaq.”
5. Madzhab Imam Abu Hanifah yang menjadikan hadits umum; “Hindarilah air kencing! Karena kebanyakan adzab kubur itu dari air kencing.” Sebagai penghapus (naasikh) hadits khusus, yaitu hadits ‘Uraniyyin yang diperintah minum susu onta dan kencingnya.

Contoh di atas sangat jelas menunjukkan bahwa kaidah ushuliyyah mereka didasarakan pada masalah furu’iyah. Pernyataan ini didukung oleh pernyataan tegas Imam Assarkhosy (w. 490 H), setelah menyebutkan kaidah ushul di atas dan sebelum menyebutkan furu’-furu’ , beliau menegaskan; فعلى هذا دلت مسائل علمائنا رحمه الله تعالى3 .
Jika anda masih ingin melihat contoh yang lain, silahkan baca referensi terlampir.

E. Pengaruh Metode Ini dalam Menghasilkan Kaidah Ushul
Kaidah ushul yang dibuat dengan mengunakan metode seperti ini sangat baik jika digunakan untuk mendukung madzhab sendiri. Karena semua kaidah disesuaikan dengan furu’. Bahkan, jika ada beberapa furu’ yang keluar dari kaidah, maka mereka akan membuat kaidah tersendiri untuk mendukung furu’ tersebut, seperti yang saya terangkan di atas.
Contohnya, kaidah dalam contoh yang saya sebutkan di atas menyatakan; bahwa lafadz umum mencakup setiap unit yang ada di bawahnya secara qoth’i. Jadi, jika ada lafadh umum dalam dalil qoth'i, kita tidak boleh mengecualikan satu unit pun dengan menggunakan dalil dhanni (seperti qiyas dan hadits ahad).
Ketika dalam furu’ mereka terdapat contoh lafadz umum yang dikecualikan dengan menggunakan hadits yang dla'if, mereka membuat satu kaidah khusus agar permasalahan ini bisa dipertanggungjawabkan dalam perdebatan ushuli.
Kaidah itu adalah; "Lafadz umum dari dalil qoth'i dapat di-takhshis dengan dalil dhanni (hadits ahad & qiyas), jika lafadz tersebut sudah pernah di-takhsis sebelumnya."
Contoh :
Ayat : الزانية والزاني فاجلدوا كل واحد منهما مائة جلدة
Menunjukkan bahwa semua orang yang berzina, baik di dalam Negara Islam ataupun di luar Negara Islam, harus dicambuk seratus kali. Ulama Hanafi mengatakan bahwa pezina di luar Negara Islam tidak wajib dicambuk. Dalilnya adalah hadits : لا تقاموا الحدود في دار الحرب
Padahal semuanya tahu, hadits tersebut dla'if.
Jawaban mereka adalah; Bahwa ayat tersebut sebelumnya sudah pernah di-takhshis, maka ia boleh di-takhshis dengan hadits ahad yang dla'if.
Takhshis yang mereka maksud adalah dlamir منهما yang kembali pada الزانية والزاني menunjukkan bahwa jika zinanya bukan laki-laki dan perempuan, maka tidak wajib dicambuk4.
Dari contoh ini, kita dapat menyimpulkan bahwa kaidah mereka bersifat fleksibel terhadap furu’-nya. Sedangkan kita tahu bahwa seharusnya kaidah adalah acuan untuk menentukan hukum furu’. Furu’-lah yang tunduk pada kaidah, bukan sebaliknya!
Dan inilah salah satu kelemahan metode penulisan ushul ala thoriqoh fuqoha..!
Kelemahan ini pula yang sering digunakan para ulama yang berbeda paham dengan mereka untuk melemahkan hujjah mereka, karena banyak furu’ yang tidak sesuai dengan kaidah ushul mereka.
Akan tetapi, mereka bukan ulama kelas teri yang tidak dapat menjawab setiap persoalan yang datang. Mereka selalu memiliki seribu alasan untuk menjawab semua pertanyaan.

F. Perbandingan antara Ushul Fiqh Jumhur dan Ushul Fiqh Hanafiyah
Setelah membaca sekilas pemaparan tentang ushul fiqh Hanafiah, kesimpulan saya adalah bahwa ushul Jumhur lebih kuat dan lebih dapat dipertanggungjawabkan. Karena beberapa alasan berikut:
1. Ushul Fiqh Jumhur memiliki acuan yang paten dari satu sumber yang memungkinkan keseragaman seluruh kaidah, tanpa harus membuat-buat kaidah baru demi mendukung madzhab. Bahkan, tidak sedikit ketetapan madzhab dirubah karena tidak sesuai dengan kaidah ushul.
Sedangkan ushul Hanafiah membuat kaidah demi menguatkan ketentuan madzhab.
2. Karya-karya ushul fiqh Jumhur murni pendekatan kaidah ushul fiqh, sehingga hasilnya merupakan sebuah kaidah yang menjadi barometer dalam mengambil hukum furu’.
Sedangkan karya-karya ushul fiqh Hanafiah penuh dengan perdebatan fiqh, dan jauh dari perdebatan ushul. Hal ini menjadikan hasil kaidah ushul mereka kurang luas dan terlalu sempit pada beberapa contoh kasus furu’ saja.
3. Ilmu manthiq sebagai pendukung ilmu ushul fiqh Jumhur tidak banyak digunakan oleh ushul fiqh Hanafi. Hal ini menyebabkan ushul fiqh Hanafi kurang rasional, meskipun kadar irasionalnya sangat rendah.
Terlepas dari itu semua, ada beberapa kesamaan ushul fiqh Jumhur dan Hanafi dalam karya-karya mereka yang menjadikan kita tidak boleh mengesampingkan ushul fiqh Hanafi.
Di samping itu, ada beberapa ulama yang telah mencoba mempertemukan kedua perguruan ini. Diantaranya adalah Jam’ul Jawami’, At-Tahrir & At-Tanqih.
Bahkan dari kajian yang dilakukan para ulama menunjukkan bahwa hanya ada sedikit perbedaan antara dua perguruan ushul tersebut.

G. Penutup
Dari keterangan diatas, penulis menawarkan dua pertanyaan untuk bisa didiskusikan :
1. Apakah kesimpulan sementara penulis tentang kebenaran informasi sekilas metode kodifikasi ala thoriqotul fuqoha dapat diterima? Jika ya, bagaimana dengan kesimpulan Dr. Jalaluddin tentang adanya kodifikasi ushul fiqh Hanafi dengan thoriqoh ushuliyyin?
2. Apakah kesimpulan sementara penulis tentang keunggulan ushul fiqh Jumhur dapat diterima? Jika tidak, jelaskan argumen Anda dengan jelas! Jika ya, mohon bisa memberikan argumen tambahan untuk menguatkan argumen yang sudah ada.
Jika dua pertanyaan di atas dianggap terlalu sempit, maka diskusan berhak mengajukan pertanyaan lain untuk didiskusikan.
Demikianlah sedikit kajian yang dapat saya tulis. Saya yakin kajian ini banyak memiliki kekurangan. Dengan sangat rendah hati, saya berharap kepada para diskusan untuk mengkritisi kajian ini dengan tanpa mengabaikan etika ilmiah.
Jika diskusan berkenan membuat kajian tandingan, maka tentu akan lebih menarik!

Catatan Kaki;
1. Muhammad bin Ahmad Assamarqondi, Mizanul Ushul. Lihat di Kasyfudh-Dhunun (1/81). Maktabah Syamilah.
2. Ghoyatul Wushul, Dr. Jalaluddin Abdurrahman.
3. Ushul Al-Sarkhosi (1/132), Maktabah Syamilah.
4. Atsarul Ikhtilaf, Mustofa Khin, hal 227-228.

F. Sumber / Lampiran
1. Ghoyatul Wushul Ila Daqoiqil Ilmil Ushul, Dr. Jalaluddin Abdurrahman
2. Atsarul Adillah Al-Mukhtalaf Fiha, Dr. Musthofa Bugho, Maktabah Dar Ilm Bairut Lebanon
3. Atsarul Ikhtilah Fi Al-Qowaid Al-Ushuliah fi Al-Furu' Al-Fiqhiah, Dr. Musthofa Khin
4. Ushulul Sarkhosi, Mahmud Bin Ahmad As-Sarkhosi.
5. Kasyful Asror Syarah Ushulul Bazdawi, Abdul Aziz Bin Ahmad Al-Bukhori.
6. Al-Wajiz Fi Ushul Fiqh, Dr. Hasan Hito.
7. At-Talwih Ala Taudhih, Sa’duddin At-Taftazani.
8. Al-Fushul Fil Ushul, Abu Bakr Al-Jashos.
9. Kasyfu Al-Dzunun, Haji Kholifah.
10. Tathowwur Al-Fikr Al-Ushuli Al-Hanafi, Dr. Haitsam Khuznah. (belum ditemukan)
11. Al-A'lam, az-Zarkaly..



* Penulis adalah Mahasiswa tingkat V, Fakultas Syarea-Universitas al-Ahgaff; Tarem, Hadramaut-Yaman

Selasa, 07 Desember 2010

RELEVANSI IJTIHAD DI ERA KEKINIAN

RELEVANSI IJTIHAD DI ERA KEKINIAN
Oleh; Aley Abdolmoeez


A. Pendahuluan

قال النبي صلى الله عليه وسلم ؛ « إن الله يبعث لهذه الأمة على رأس كل مائة سنة من يجدّد لها دينها »
Bertolak dari hadits ini, kita akan mendiskusikan bersama tentang pentingnya peranan mujaddid atau mujtahid yang bisa memformulasikan kembali hukum-hukum Islam, dengan relevansinya yang kekinian dan kedisinian. Karena bagaimanapun juga, kegiatan ini sangat urgen mengingat dalam beberapa madzhab fiqh banyak sekali ditemukan produk-produk hukum yang kurang bisa diaplikasikan di beberapa tempat dan zaman. Peranan ijtihad dalam membangun umat, baik dari segi ibadah atau mu’amalah dan lainnya, merupakan keniscayaan yang harus disikapi bersama secara serius oleh para cendekiawan (fuqahâ) sebagai langkah peremajaan dan memformulasi kembali wajah fiqh dari generasi ke generasi.
Ijtihad adalah harga mati yang harus tetap dilakukan dan digalakkan sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman yang disesuaikan dengan realitas kekinian dan kedisinian, sehingga aktivitas ijtihad sangatlah urgen demi menjadikan Islam -sebagai agama yang lahir pada abad VI masehi itu- mampu menembus ruang dan waktu, sehingga Islam adalah undang-undang yang shâlih fî kulli zamân wa makân.
Sejauh pentingnya peranan ijtihad itu, maka dituntut agar hukum-hukum yang diproduksi via ijtihad tetap orisinil dan steril dari pengaruh hawa nafsu dan kepentingan individu atau golongan. Oleh karena itu, para ulama membuat benteng yang kokoh dengan meletakkan syarat-syaratnya yang ketat, sehingga kaum liberalis banyak melakukan kajian kritis atas syarat-syarat tersebut yang berujung pada tuduhan terhadap Imam al-Haramain (w. 478H) sebagai orang yang telah mengebiri Islam yang berimplikasi pada kejumudan, bahkan pada kemundurannya . Mengapa harus al-Haramain? Karena ialah orang pertama yang berbicara lantang tentang syarat-syarat seseorang yang berhak untuk memproduksi hukum secara selektif dan mustasyaddid, sehingga oleh mereka syarat-syarat itu dianggap sebagai pengganjal kebebasan berijtihad. Namun, apapun yang dilakukan al-Haramain adalah hal yang positif demi pencitraan dan orsinalitas Islam dari pengaruh hawa nafsu.

B. Ijtihad dan Mujtahid

Secara terminologis, ijtihad adalah mengerahkan kemampuan bagi seorang faqih untuk menemukan hukum syar'i yang bersifat amaliyah dan bukan hukum-hukum pasti (ahkâm al-qath’i) . Definisi ini sengaja diangkat tanpa mengenyampingkan definisi-definisi versi lainnya karena melihat banyaknya pro-kontra para cendekiawan dengan berbagai bahasa yang diungkapkannya. Sebagaimana terjadi pro-kontra pada cakupannya, apakah hanya masalah syariah saja atau mencakup masalah-masalah 'aqliyyah dan lughawiyyah juga?
Sementara mujtahid adalah orang yang baligh, berakal, faqih, dan berkompeten dalam mendeduksi hukum-hukum syara' dari dalil-dalil yang tafshil dari sumber-sumber hukum Islam . Definisi ini hanya sebagai balance dengan ta’rîf di atasnya, sehingga penulis menggabungkan dari berbagai sumber demi kesempurnaan definisi.
Ijtihad adalah aktivitas agung dan sangat berat, sebagaimana komentar al-Sam'âni (w. 562 H) yang mengatakan ijtihad adalah aktivitas agung yang mampu menggantikan fungsi wahyu pasca mangkatnya Rasulullah saw. . Senada dengan al-Sam’âni, al-Syâthibi (w. 790 H) juga mengukuhkan pendapat itu sebagaimana terekam dalam al-Muwâfaqât. Ia menyamakan posisi mujtahid atau mufti sebagaimana posisi nabi dilihat dari tiga hal, diantaranya hadits Nabi yang menyatakan ulama adalah pewaris para nabi, baik dari segi ilmunya atau kewajiban untuk tablîgh kepada masyarakat .
Namun, menjadi seorang mujtahid tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, sehingga banyak para generasi cendekiawan (thâlib al-‘ilm) yang putus harapan untuk mengejar impian tertingginya sebagai pewaris nabi, al-‘ulamâ` waratsat al-`anbiyâ . Sebagai bukti nyata, banyak generasi muslim yang lebih asyik menikmati hukum-hukum instant yang sudah dikemas dalam fikih praktis madzhab dan sangat menikmati status sosialnya sebagai muqallid yang kadang menjadikannya sebagai muqallid buta.
Melihat realita itu, Majduddin ibn Daqîq al-‘Îed (625-702 H), Abû Syâmah (599-665 H), Taqiyyuddin al-Subuki (w. 756 H), dan al-Dzahabi (w. 748 H) terus memberikan semangat dan menumbuhkan rasa patriotisme sebagai generasi muslim sehingga mereka mengatakan bahwa penyebab yang mendasar dalam kejumudan ini adalah keengganan generasi muslim untuk bermimpi dan berusaha untuk mewujudkan impiannya menjadi mujtahid. Mereka juga sangat menyayangkan sikap tersebut, melihat perangkat ijtihad di era modern seperti ini sudah sangat komplit, instant, praktis, dan mudah didapatkan ketimbang zaman-zaman awal . Komentar ini disambunglidahkan oleh aktivis gerakan anti-taklid yang dikawal oleh beberapa ulama besar, seperti al-Syawkâni (w. 1250 H), Muhammad ibn Abdul Wahhab, dan lain-lainnya.

C. Syarat-syarat Mujtahid
Predikat mujtahid memang simple, namun sangat sulit. Abu Ishâq al-Syâthibi (w. 790 H) menerangkan bahwa predikat mujtahid bisa didapatkan apabila seseorang mampu mempunyai dua hal pada dirinya, yaitu;
1. Memahami maqâshid al-syarî’ah secara utuh dan sempurna.
2. Mampu mendeduksi hukum dengan dasar pemahamannya atas maqâshid al-syarî’ah .
Pemaparan ini sepintas kita bisa dengan mudah menyandang predikat mujtahid dengan memahami maqâshid-nya saja. Namun banyak hal yang sebenarnya menjadi hal yang lebih penting dari itu, diantaranya adalah memahami pro-kontra para ulama, baik dalam satu madzhab atau antar madzhab. Wawasan khilafiyah ini sebagai langkah antisipasi memporakporandakan konsensus ulama-ulama terdahulu. Penguasaan terhadap bâb Qiyâs dan bâb Dalâlah juga merupakah hal yang tidak kalah penting untuk merujuk kembali asal atau nash al-Quran dan al-Sunnah.

D. Kebutuhan Ijtihad

Mufti Syafi'i Mesir, Dr. Ali Jum'ah dalam sebuah risalahnya yang diberi nama dengan "Âliyyâh al-Ijtihâd" menyatakan bahwa di era kekinian dan kedisinian ijtihad merupakan hal yang sangat diperlukan atau sangat darurat dipandang dari dua sisi berikut ;
1. Sifat Dzanny yang ada pada teks al-Quran dan al-Hadits.
Dengan keberadaannya yang bersifat dzanny al-dilâlah, menuntut para mujtahid untuk selalu menguak makna atau maqâshid dari teks tersebut yang masih banyak mengandung beberapa kemungkinan. Memang ijtihad telah dilakukan oleh para cendekiawan abad permulaan, namun tidak menutup mata hasil yang mereka gali merupakan kebenaran mutlak yang tidak bisa diganggu gugat keputusannya mengingat mereka tidak ma’shûm.
2. Banyaknya tuntutan atas modernitas zaman serta keterbatasan teks yang diturunkan oleh pemilik Syariat.
Keterbatasan teks-teks hukum inilah yang menyebabkan para cendekiawan untuk selalu berijtihad, sebagaimana yang dikatakan al-Ghazali (w. 505 H) dan Ibn al-Arabi (w. 543 H) bahwa ayat-ayat al-Quran yang mengandung hukum sekitar lima ratus ayat saja. Hanya saja klaim ini sebatas dzahir, karena bagi orang yang punya intelektual dan kejeniusan yang tinggi dan pemahaman terhadap al-Quran yang sempurna mampu mendeduksi hukum-hukum syariat dari ayat-ayat qashash dan amtsal. Adapun mengenai jumlah al-Ahâdits al-Ahkâm, para ulama terjadi perbedaan pendapat mulai dari lima ratus sampai ribuan hadits, sebagaimana pendapatnya Ibn al-Arabi dan Ahmad ibn Hambal (w. 241 H) .
Dari kedua hal di atas, banyak kita lihat komentar para ulama terdahulu yang terus menyuarakan adanya kebangkitan dan gerakan peremajaan hukum yang dilakukan oleh anak-anak generasi masanya dengan memberikan suri tauladan para pendahulu. Sebagaimana yang diungkapkan oleh al-Haramain dalam kitabnya, al-Burhân, bahwa banyak sekali fatwa para shahabat, tabi'in, dan orang-orang setelahnya yang melakukan ijtihad dengan mendeduksi hukum syariat dengan menggunakan metodologi Qiyâs. Hal ini karena sangat terbatasnya teks-teks hukum dan banyaknya permasalahan yang mendesak untuk diidentivikasi kejelasan hukumnya .
Al-Syâthibi dalam al-Muwâfaqât juga menegaskan akan pentingnya gerakan ijtihad. Ia mengatakan hal-hal baru yang belum diketahui hukumnya dalam al-Quran dan al-Hadits tidak mungkin masuk dalam khithâb atau dalil yang sangat terbatas, sehingga sangat diperlukan membuka kembali pintu ijtihad dengan metode analogi (Qiyâs) atau lainnya. Hal ini didasari pada ketidakmungkinan para cendekiawan meninggalkan umat Islam dalam kerusakan dengan mengikuti ijtihadnya masing-masing yang masih kental dengan tuntutan hawa nafsu dan sementara mereka orang yang bukan ahlinya .
Kedua poin di atas, tulis Dr. Ali Jum'ah, merupakan hal yang sangat mendasar atas pentingnya ijtihad di zaman sekarang ini, sebagaimana mendapatkan dukungan dari beberapa ulama lainnya, seperti yang paling keras berteriak untuk kembali melakukan re-ijtihad adalah Muhammad ibn Abdul Wahhab, Muhammad al-Syaukâni, Muhammad Ghazâli, Dr. Imarah, dan beberapa ulama kontemporer lainnya.

E. Klasifikasi Ijtihad
Al-Syâthibi dalam karya monumentalnya berbicara apa yang dilakukan seorang mujtahid untuk mendeduksi hukum dari sumber-sumbernya dan syarat apakah yang harus dipenuhi dalam ijtihadnya. Untuk memproduksi hukum maka seorang mujtahid tidak diharuskan untuk memahami dan menguasai semua alat-alat ijtihad, seperti wawasan khilafiyyah, penguasaan bahasa arab dan lain-lainnya. Al-Syâthibi membagi ijtihad dalam 3 hal yaitu; tanqîh al-manâth, takhrîjul manâth dan tahqîq al-manâth. Dalam hal ini, al-Syâthibî berkomentar panjang-lebar mengenai langkah-langkah ijtihad dan syarat-syaratnya dalam berbagai konteks permasalahan; seperti apabila hal itu tidak membutuhkan wawasan-wawasan pendamping lainnya, maka seorang mujtahid hanya wajib meneliti permasalahan itu dari segi maqâshid-nya saja tanpa harus pandai dan memenuhi persyaratan mujtahid yang lainnya .
Dr. Sa'îd Ramdhan Al-Buthi mengklasifikasikan gerakan ijtihad di era kekinian kedalam dua bagian;
1. Ijtihad yang hanya menjawab realitas yang sedang ada dan belum tersentuh oleh ranah wawasan ulama-ulama terdahulu sementara produk-produk ijtihad ulama salaf ditetapkan sebagai solusi atas problem yang masih relevan di era kekinian.
2. Ijtihad yang merekam ulang dan mendaur ulang hasil-hasil ijtihad ulama salaf sehingga mereka mampu mengamandemennya dan menghapusnya dari daftar-daftar ijtihad ulama, hal ini karena dinyatakan tidak relevan sehingga perlu adanya amandemen hukum Islam .

F. Korelasi Mujtahid dengan Teks (Nash)
Sub judul ini sengaja penulis kemukakan karena nash merupakan ladang yang digarap oleh para mujtahid. Mereka tidak lepas untuk bergelut dengan teks, baik al-Quran atau al-Hadits, untuk merujuk dan menjadikan sumber hukum dari permasalahan yang dikajinya. Karena itu, wajib bagi seorang mujtahid memahami kaidah-kaidah lughawiyyah, disamping dua syarat di atas yang dipaparkan al-Syâthibi.
Nash secara istilah bisa mempunyai lima makna, yaitu ;
1. Setiap yang diucapkan dan bisa dipaham yang diambil dari al-Quran dan al-Hadits, baik dzahir, nash, tafsir, hakikat, majaz, umum, maupun khusus.
2. Nash secara bahasa adalah jelas atau tampak sehingga lafadz dzahir bisa disebut sebagai nash, sebagaimana pendapat al-Syafi'i (w. 204 H).
3. Lafadz yang tidak mungkin terjadi kemungkinan-kemungkinan lain dalam penafsirannya. Ini adalah pendapat yang masyhur.
4. Lafadz yang tidak mungkin terjadi kemungkinan-kemungkinan lain dalam penafsirannya yang diperkuat oleh dalil.
5. al-Quran dan al-Hadits.
Arti-arti di atas adalah arti nash atau teks menurut para pemikir Islam masa lalu. Namun seiring dengan membukanya pintu taklid dan tertutupnya pintu ijtihad, makna nash atau teks menurut kita orang awan akan mengalami perkembangan dengan menambahkan satu makna yang sangat mengganggu aktivitas ijtihad. Makna itu adalah setiap tulisan atau turâts karya para ulama klasik -terhitung dari munculnya madzâhib sampai era Imam ibn Hajar al-Haitami (w. 974 H) dan Imam Ramli (w. 1004 H)-, baik mereka mujtahid mutlaq atau tidak, seperti al-Syafi’i, al-Râfi’i (w. 623 H), al-Nawawi (w. 676 H), dan lain-lainnya. Hal ini dijadikan landasan para ulama sekarang untuk mendeduksi sebuah hukum, padahal produk ijtihad mereka bila diterapkan pada masa kekinian dan kedisinian pun mungkin banyak yang sudah berubah, melihat adat istiadat ('urf) sebagaimana terjadinya perubahan beda hukum tatanegara dan hubungan antar-negara, baik multilateral atau bilateral. Apalagi kita sekarang dihadapkan pada slogan kembali pada sistem Khilafah; Adakah aturan Islam tentang sistem negara yang ideal dan sesuai dengan nash-nash Islam? Dari sinilah, Dr. Muhammad Imarah menyatakan keabsurdan pemahaman teks (nash), sehingga slogan lâ ijtihâd ma' al-nash sulit untuk diaplikasikan. Dengan adanya nash, maka ijtihad tidak bisa lagi dijalankan dan ijtihad tidak bisa diwujudkan kecuali dengan tidak adanya nash?
Untuk menghilangkan kebingungan ini, maka nash disini harus digarisbawahi dan dijelaskan apa makna nash yang sebenarnya sehingga slogan itu bisa dinyatakan keabsahannya. Analisa ini bisa kita raba satu persatu dari makna nash di atas, makna manakah yang tepat untuk mengartikan lâ ijtihâd ma' al-nash?

G. Ijtihad Kontemporer

Ijtihad ini sudah digalakkan oleh rekan-rekan kita yang menamakan dirinya sebagai Jamaah Islam Liberal, sebagaimana yang dilakukan oleh Muhammad Sa'id al-'Asymawi dan Dr. Nashr Hamid Abu Zaid yang terus bebicara lantang mengenai hal ini . Namun cara yang mereka lakukan kurang mendapat sambutan positif dari para ulama lainnya karena metode yang dilakukan mereka dengan cara menggunduli kaidah-kaidah ushuliyyah yang telah ditetapkan dan diamalkan beribu-ribu tahun lamanya. Di antaranya adalah mereka mengkaitkan teks dengan realitas sosial setempat pada waktu itu, sehingga mereka mencabut kaidah yang masyhur, al-'ibrah bi 'umûm al-lafdz lâ bikhushûsh al-sabab ataupun mereka melakukan tafsir-tafsir baru yang mereka sering sebut dengan tafsir hermeneutika. Namun, apakah langkah-langkah tersebut bisa dibenarkan?! Begitulah, realitas yang selama ini terus bergelayut dalam hati dan pikiran para akademisi lokal atau internasional. Hemat penulis, sebagaimana yang sering diwacanakan oleh beberapa pesantren di Indonesia dan dikukuhkan dengan komentar para cendekiawan Timur Tengah, bahwa eksistensi ijtihad tidaklah harus dengan membredel alat-alatnya juga, tapi cukup dengan mengembangkan dan menggali kembali maqâshid al-syarî’ah sebuah kasus sehingga bisa menganalogikannya dengan kasus-kasus yang sudah ada. Hal ini melihat komentar para ulama mengenai terma Qiyâs yang begitu terbuka lebar untuk pintu ijtihad, terutama dalam madzhab Syafi’i.
Namun, apakah dengan metode Qiyâs kita bisa menjawab semua tantangan?! Tentunya tidak, sehingga kita perlu menggunakan dasar-dasar lain (al-adillah al-mukhtalaf fihâ) -seperti istihsân, istishlâh, sadd al-dzarâi’, dan lain-lainnya- sebagai langkah darurat, sebagaimana yang dijelaskan oleh Dr. Wahbah al-Zuhaili dalam bukunya, al-Dlarûrât al-Syar’iyyah. Hal ini juga kita bisa telisik dalam turâts-turâts al-Syâfi’iyyah yang seringkali para mujtahid menggunakan dasar-dasar lain, seperti istishlâh, istihsân, dan lainnya, walaupun Imam Syâfi’i jauh-jauh dalam al-Risâlah-nya berkomitmen anti-istihsân dengan perkataannya yang masyhur, man istahsan faqad tasyarra’.
Pandangan simpel ini adalah langkah mudah untuk menggambarkan aktivitas mujtahid kekinian, sehingga umat Islam tidak terlantar dalam kerancuan hukum dan kebingungan. Memang aktivitas ijtihad di akhir-akhir ini sama dengan pemandangan aktivitas ijtihad di awal-awal munculnya madzâhib, dimana aktivitas itu hanya menjawab realitas saja (fiqh wâqi’i) serta tidak mampu memberikan nuansa fikih yang penuh dengan pengandaian-pengandaian (fiqh iftirâdli), sebagaimana yang dilakukan oleh para a`immah zaman keemasan Islam.
Perumusan dibutuhkannya mujtahid-mujtahid baru adalah untuk menata kembali hukum-hukum Islam, baik dari segi ukhuwwah Islamiyyah, sistem bernegara yang dianut dan konteks-konteks lainnya yang masih menjadi problem yang menjangkit semua generasi Muslim di seluruh belahan dunia. Bidikan ini juga agar bisa menghilangkan wajah sangar Islam yang selama ini terinveksi oleh terorisme dan membersihkan generasi Muslim dari hegemoni Yahudi dan Nasrani.

H. Penutup

“JADI MUJTAHID?! SIAPA TAKUT…!” ya begitulah status dalam facebook yang diunggah oleh rekan saya, sehingga penulis mencoba mengomentarinya lewat tulisan ini di samping penulis mengangkat tema ini bertujuan untuk mengembangkan kembali potensi yang kita miliki, sehingga kita tidak lagi terkena phobia-mujtahid, mengingat mujtahid hanya dituntut untuk mencari kebenaran hukum, bukan kebenaran menurut Allah swt., sebagaimana pendapat yang dilontarkan oleh al-Muzâni (w. 264 H), karena kebenaran hukum menurut Allah swt. adalah hal yang sulit diketahui dan hanya Allah yang tahu.
Diskusi ini juga diharapkan bisa memberikan "vonis", sudah tepatkah langkah-langkah yang diambil oleh para aktivis ijtihad sekarang? Minimal sebagai standar acuan tentang legal dan tidaknya seseorang melakukan ijtihad di sini dan kini. Wallah A’lam.

Selamat atas tumbuhnya mujtahid-mujtahid kecil!

*) Penulis adalah mahasiswa tingkat IV Fakultas Syariah dan Hukum Universitas al-Ahagaff, Tarim, Hadhramaut-Yaman

Selasa, 23 November 2010

INDONESIA-ISME SOEKARNO
Menjawab Tantangan Ideologi Masa Kini

Oleh Muhammad Ufi Ishbar Noval*

Pendahuluan
JAS MERAH atau jangan melupakan sejarah adalah pepatah yang penting. Tidak kalah pentingnya dengan kita mengartikan dan mengaplikasikan bentuk sejarah dan history itu sendiri. Sejarah negara kita yang telah ditindas Belanda selama tiga abad setengah, kemudian dialihtangankan pada Jepang tentu membawa dampak yang sangat besar bagi bangsa kita, baik positif atau negatif.
Terlepas dari itu semua, di sini kita akan membedah dan menulusuri kiprah dari ‘sejarah’. Ya, sejarah Soekarno. Karena dia yang menjadi presiden pertama di negara kita, dan termasuk salah satu tokoh yang berkecimpung dalam perpolitikan Indonesia hingga Indonesia merdeka. Soekarno adalah sang proklamator, yang memproklamirkan ke dunia tentang kemerdekaan Indonesia.
Tokoh yang dijuluki Macan Podium ini mampu membangkitkan semangat nasionalis dan menyatukan masyarakat Indonesia untuk mencapai kemerdekaan. Persatuan yang tanpa pandang RAS dan SARA.
Kemudian, trik dan hal ini dianggap perlu bagi kami untuk mendalami intrik dan ‘atom-atom’ negara kita, untuk mencapai dakwah dan persatuan Islam pada khususnya dan Indonesia pada umumnya.

Biografi Singkat Soekarno
Adalah Ir. Soekarno lahir di Surabaya, 06 Juni 1901[1]. Ayahnya bernama Raden Soekami dan ibunya bernama KlayuRai. Ayahnya adalah seorang guru yang ditugaskan di Bali. Dalam masa tugasnya, ia berhasil mempersunting KlayuRai, putri bangsawan Bali. Setelah pernikahan tersebut, Raden Soekami minta dialihkan tugas, kemudian dipindahkan ke Surabaya. Ketika di Surabaya inilah, lahir Putra Sang Fajar (julukan Soekarno)[2].
Nama aslinya adalah Kusno, namun karena sering sakit-sakitan, ayahnya mengganti menjadi Soekarno. Diambil dari "Karna", artinya pahlawan besar dan “Soe” yang berarti baik[3].
Presiden pertama Indonesia ini memulai pendidikan dari tangan kedua orang tuanya, kemudian dilanjutkan di Bumi Putera, sekolah untuk anak para priyayi. Pada waktu kelas lima, ayahnya mengirim Soekarno ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi lagi, yaitu Sekolah Tinggi Belanda. Dengan jabatan sebagai Mantri Guru (kepala sekolah), tidak sulit memasukkan putranya ke sekolah ini. Soekarno pun masuk di kelas enam Europeshce Lagere School. Setelah lulus, dia melanjutkan pendidikan di Hogere Burger School (HBS).
Selama tinggal di Surabaya, ia tinggal bersama HOS Cokroaminoto yang di kemudian hari menjadi mertuanya. Pada tanggal 11 Juni 1921, Soekarno berhasil menamatkan pendidikan di Surabaya. Kemudian, ia melanjutkan ke Bandung. Selama di Bandung, ia ditemani istrinya, Utari, dan tinggal di rumah Haji Sanusi, dan menikah lagi dengan Inggit, istri Sanusi.
Dalam dunia politik, Soekarno mengawali karir dari sering mengikuti acara Serikat Islam kemudian dia mendirikan PNI atau Persatuan Nasional Indonesia.
Inilah sekilas tentang biografi presiden pertama kita. Kemudian, kita akan mengulas tentang ide dan pemikiran yang perlu kita warisi.

Pemikiran dan Ide Putra Sang Fajar
Indonesia-isme
Bung Karno tidak memilih negara kita sebagai feodalisme, sekulerisme[4], marxisme, imperialisme, islamisme, kristenisme, budhaisme, hinduisme, ataupun isme-isme lainnya, tapi ia memilih indonesiaisme. Ya, indonesiaisme yang mengandalkan nasionalisme dan patriotisme yang tinggi.
Sebagaimana pengalaman masa lalu ketika Nusantara masih dalam bentuk kerajaan, ada kerajaan Singosari, Majapahit, Samudra Pasai, dan seterusnya, ternyata tidak bisa menyatukan Indonesia seutuhnya. Meskipun Majapahit mampu menaklukkan Nusantara bahkan sampai Malaysia maupun Thailand, tapi bukan itu ruh indonesiaisme. Di zaman kerajaan dulu, tidak ada bedanya dengan feodal di Prancis.
Dia pun tetap memilih indonesiaisme dan tidak memilih fasisme[5]. Karena di dalam fasisme, sistem diktator diterapkan. Dan tentunya ini tidak akan sesuai dengan ‘jiwa indonesiaisme’.
Dia pun tetap berpegang pada indonesiaisme dengan menyampingkan islamisme, atau kristenisme, atau pun teologisme lainnya. Karena jika salah satu diterapkan dengan sistem, maka akan runyam dan akan mengakibatkan disintegrasi bangsa sebagaimana yang sempat mencuat di era kepresidenan Habibi sampai Gus Dur.
Putra Sang Fajar ini pun tidak berpegang teguh pada sekulerisme, karena ideologi ini yang memisahkan dan mengotak-ngotak antara urusan negara dan urusan agama. Karena dalam hal apapun, agama adalah ‘wahyu’ yang tidak dapat dielakkan, dan harus dipatuhi.
Bahkan ia lebih memihak pada marhenisme. Adalah suatu ideologi yang mementingkan dan memihak pada kaum lemah. Marhaen adalah nama petani yang sempat ditemui ketika ia kuliah di Bandung. Dari percakapan singkat dengannya, muncullah ide marhenisme.
Indonesiaisme adalah suatu jiwa luhur yang mengangkat tinggi musyawarah, kemufakatan, dan persatuan sebagaimana tercantum dalam pancasila, atau pun memerangi kolonialisme, imperialisme sebagaimana yang termaktub dalam pembukaan Undang-undang dasar.
Koperasi-isme
Sebenarnya pencetus pertama koperasi adalah Bung Hatta. Dan karena Bung Hatta adalah wakil presiden pertama di era orde lama, maka paham ini pun dimasukkan. Ya, sistem ekonomi ini yang diaplikasikan di Indonesia. Tidak sistem kapitalisme[6] atau komunisme atau lainnya.
Koperasiisme adalah suatu jenis badan usaha yang beranggotakan orang-orang atau badan hukum. Koperasi melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan asas kekeluargaan.
Adapun Soekarno sendiri mempunyai marhenisme yang lebih membela rakyat kecil. Ya, akan tetapi antara marhenisme dan koperasiisme tidak jauh beda. Sama-sama menjunjung tinggi kekeluargaan dan membela perekonomian rakyat kecil yang masih kurang modal.

Kesimpulan
Setelah kita menyelami dan mengorek kembali pemikiran dan ide sang proklamator, kita dapat memahami akan pentingnya nasionalisme dan patriotisme. Dengan memahami nasionalisme ini, bukan berarti kita menyampingkan ide dan pemikiran dari bangsa lain, tapi yang terpenting adalah filterisasi dari tiap ide itu sendiri.
Misalnya, ide radikalisme. Ide ini pun tidak sepatutnya digebyahuyah atau dipukul rata menjadi suatu paham yang keliru, paham yang seram. Akan tetapi, kita harus mencoba untuk menfilter ide ini dan mengaca kembali akan keakuratannya. Seandainya ide ini perlu untuk diterapkan demi membela pancasila, seperti munculnya majalah playboy maka kami kira perlu pula untuk diterapkan. Akan tetapi, jika memang suatu ide telah melanggar pancasila dan dasar-dasar yang telah digariskan serta dirumuskan, maka seyogyanya kita menanggalkan ide itu sendiri. Ya, perumus bangsa kita adalah manusia yang tentunya juga melakukan kesalahan dan kekhilafan. Akan tetapi, bukan berarti kita bebas mengaplikasikan tiap ideologi dengan tanpa memandang kemaslahatan ideologi itu sendiri, dan bukan berarti kita bebas berekspresi terhadap ideologi tanpa memandang orang lain. Bukannya begitu???


* Makalah ini akan dipresentasikan pada: 
Hari             : Rabu malam Kamis
Tanggal        : 24 November 2010
Waktu          : Pukul  19.15 WY
Lokasi          : Kafe Asrama Kuliah Syariah
Sumbangan pikiran Anda, sangat kami harapkan...


[1] Diambil dari beberapa referensi termasuk di www.okezone.com update bulan april.
[2] Lihat Majalah Tempo 2000 dan buku Bung Karno Penyambung lidah Rakyat Indonesia karya Cindi Adams.
[3] Idem
[4] Sekulerisme adalah suatu ideologi yang menyatakan bahwa institusi atau badan harus berdiri terpisah dari agama atau kepercayaan.
[5] Lihat "Di Bawah Bendera Revolusi", hal 457. penerbit
[6] Kapitalisme diambil dari capital (ing, red) yang artinya adalah modal. Kapitalisme adalah sistem ekonomi yang cenderung ke arah pengumpulan kekayaan untuk pihak sendiri atau golongan tertentu. (lihat: wikipedia bahasa melayu).
*) Penulis adalah mahasiswa tingkat III fakultas Syariah dan Hukum Universitas Al-Ahgaff, Tarim, Hadlramaut-Yaman