Dualisme antara Universalitas dan Historisitas Teks Agama
Oleh; Achmad Zuhairuzzaman*)
A. Pendahuluan
KETIKA semakin banyak kalangan yang mempertanyakan sebatas manakah kemampuan Fiqh Islami mengejar laju kecepatan era globlalisasi dengan problematikanya yang semakin kompleks ini, banyak di antara sebagian pemikir kontemporer menawarkan beberapa solusi yang cukup kontroversial dan mampu mencuri perhatian kalangan muda nan progresif untuk kemudian menjadi missionaris wacana-wacana pemikiran mereka. Mereka menilai kejumudan Fiqh ada karena metodologi istinbath hukum yang terkodifikasi dalam ilmu Ushul Fiqh tidak lagi mumpuni menelurkan produk hukum yang sesuai kebutuhan zaman, sehingga sudah menjadi keniscayaan perlunya pembaharuan Ushul Fiqh secara aktual.
Pembaharuan yang mereka kampanyekan menurut penulis bisa disimpulkan dalam dua gambaran; Pertama, pembaharuan secara radikal dengan mengganti corak tranferensial (naqliyah) menjadi lebih rasional ('aqliyah), seperti memenangkan dalil mashlahat ketika berbenturan dengan nash al-Quran atau al-Hadits. Kedua, reaktualisasi pendapat-pendapat lemah mengenai kaidah Ushul Fiqh yang mereka anggap kontekstual dan meninggalkan kaidah yang tekstual-literal. Hal ini karena mereka memandang Ushul Fiqh selama ini telah memperlamban produktifitas hukum Fiqh, karena begitu bergantungnya mayoritas ulama Ushul Fiqh pada entitas teks dan banyak mengesampingkan atribut kontekstual-nya, termasuk sisi historisitas-nya, seperti tergambarkan dalam perbedaan pendapat mengenai dua kaidah yang akan menjadi fokus pembahasan dalam tulisan ini. Jadi, bagaimanakah sebenarnya perbedaan pendapat tersebut? Apakah sebagaimana dalam anggapan pemikir liberal? Penulis mencoba menyajikannya dalam kajian problematika dualisme antara universalitas dan historisitas teks agama, dan mengajak para diskusan untuk mendiskusikannya agar semakin matang dan meneliti kesalahan yang ada, sehingga manambah pengetahuan bersama.
B. Kaidah Pertama: "al-'Ibrah bi 'Umum al-Lafdhi La bi Khusus al-Sabab"
Kaidah pertama ini, dan juga kaidah kedua, terdapat dalam kasus permasalahan ketika sebuah teks yang secara semantik (ilmu dalalat al-alfadz) menunjukkan makna umum, menjawab dengan independen (istiqlal) suatu persoalan atau kasus yang lebih spesifik. Maka pendapat jumhur ulama Ushul Fiqh adalah mengutamakan pemahaman dari sudut keumuman makna teks, dan bukan hanya dari latar belakang turunnya teks tersebut (background historis). Pendapat ini berdasarkan pada eksisnya faktor semantik (wujudul muqtadli al-dalalah) yang menunjukkan makna umum dalam teks tersebut tanpa ada sesuatu mani' (pencegah) yang mencegah eksistensinya. Dan selain itu juga, tidak adanya pertentangan antara teks umum ('amm) dan sabab al-nuzul (background historis), sehingga masih memungkinkan untuk mengaplikasikan kandungan teks secara umum pada sabab al-nuzul maupun kasus-kasus lainnya yang serupa[1].
Hal di atas (pengaplikasian kandungan teks pada selain sabab al-nuzul) tidak bisa dikatakan sebagai metode qiyas (analogi), karena kaidah ini justru berdasarkan pada ilmu dalalat al-alfadz yang memang menjadi bagian penting dari metode pemahaman teks bahasa. Oleh karena itu, sebagian ulama berpendapat mengenai definisi dalalah wadl'iyyah lafdziyyah, ialah pemahaman si pendengar mengenai makna yang terkandung dalam suatu lafadz[2] (teks).
Mengenai penerjemahan kaidah ini, banyak terjadi kesalahpahamanan sebagaimana diutarakan oleh KH. M. Sahal Mahfud dalam Fiqh Sosialnya. Beliau menjelaskan, "Satu kaidah dalam Ushul Fiqh yang barangkali dianggap orang sebagai menggiring Fiqh kepada bentuk yang tidak kontekstual, adalah al-'ibrah bi 'umum al-lafdhi la bi khusus al-sabab. Kaidah ini banyak diterjemahkan begini, "Yang menjadi perhatian di dalam menetapkan hukum fiqh adalah rumusan (tekstual) suatu dalil, bukan sebab yang melatarbelakangi turunnya ketentuan (dalil) tersebut". Menerjemahkan "la" dengan "bukan" seperti terjemahan di atas adalah salah! "La" di situ berarti 'bukan hanya" (la li al-'athaf bukan la li al-istidrak). Jadi latarbelakang, asbab al-nuzul maupun asbab al-wurud (sebab-sebab turun ayat al-Quran dan al-Hadits), tetap menjadi pertimbangan penting dan utama. Terjemahan yang benar dari kaidah itu adalah "Suatu lafadh (kata atau rumusan redaksional sebuah dalil) yang umum ('amm), mujmal maupun muthlaq (yang berlaku umum) harus dipahami dari sudut keumumannya, bukan hanya dari latarbelakang turunnya suatu ketentuan." Dengan demikian, ketentuan umum itu pun berlaku terhadap kasus-kasus cakupannya, meskipun mempunyai latarbelakang berbeda. Sebab jika dalil-dalil al-Quran maupun al-Hadits hanya dipahami dalam konteks ketika diturunkannya, maka akan banyak sekali kasus yang tidak mendapatkan kepastian hukum."[3]
Dan sebagaimana diutarakan olah Mbah Sahal di atas, sabab al-nuzul memang masih menjadi pertimbangan. Hal ini terbukti dalam kasus larangan pembunuhan terhadap wanita kafir dan anak-anak kafir, yang mana keumuman teks larangan tersebut oleh sebagian ulama (Syafi'iyyah) dikhususkan dengan sabab al-nuzul, yaitu pelarangan tersebut ditetapkan oleh Rasulullah saw pada waktu Beliau saw melihat seorang wanita terbunuh dalam salah satu peperangan. Maka, proses spesifikasi (takhshish) tersebut menyimpulkan ketentuan hukum bahwa larangan tersebut hanya berlaku pada wanita harbiyyat, dan tidak mencakup murtaddah[4]. Namun ada pertanyaan yang mungkin bisa kita bahas pada diskusi kali ini, yaitu sebatas manakah sabab al-nuzul menjadi pertimbangan yang kuat dan mampu menjadi mukhosshish terhadap teks umum?
C. Kaidah Kedua: "al-'Ibrah bi Khusus al-Lafdhi La bi 'Umum al-Sabab"
Kaidah yang kedua ini adalah pendapat dari Abu Tsaur, al-Muzanny, al-Daqqaq dan al-Qoffal dari kalangan Syafi'iyyah, dan juga dinukil dari Imam Malik ra[5]. Tendensi pendapat ini adalah, jika teks umum tersebut tidak dikehendaki kekhususannya berdasarkan sabab al-nuzul-nya, maka penyebutan sabab al-nuzul dalam satu riwayat dengan teks umum, tidak lagi mempunyai faidah, bahkan seperti penyebutan yang percuma (al-'abats), dan hal ini tidak layak bagi kapasitas orang yang berakal, terlebih bagi al-Syari'. Namun tendensi tersebut bisa dimentahkan olah mayoritas ulama dengan menafikan kesia-siaan penyebutan sabab al-nuzul, yaitu adanya faidah berupa penjelasan bahwa sabab al-nuzul secara pasti (qoth'i) telah tercakup dalam keumuman teks dan tidak bisa dikeluarkan dari keumumannya baik melalui motode qiyas atau lainnya[6].
Dan meskipun di antara dua kaidah di atas tampak pertentangan yang mencolok, namun ada beberapa permasalahan furu'iyyah (cabang hukum) yang disepakati oleh seluruh ulama, baik dari kalangan pendapat pertama ataupun kalangan pendapat kedua, bahwasanya sebagian kandungan teks hukum juga bisa diaplikasikan pada kasus lain yang serupa dengan sabab al-nuzul, seperti hukum li'an dalam kisah Hilal bin Umayyah, hukum dzihar pada kisah Salamah bin Shokhr, hukum qodzaf pada kasus pemfitnah Sy. Aisyah ra dan masih banyak lagi. Hukum yang telah disepakati tersebut bagi kalangan pendapat pertama adalah karena berdasarkan konsekuensi keumuman teks, sedangkan bagi kalangan pendapat kedua adalah karena berdasarkan dalil lain[7].
D. Paralogisme Liberalis Mengenai "al-'Ibrah bi Khusus al-Lafdhi La bi 'Umum al-Sabab"
Sebagaimana telah disinggung dalam pendahuluan, bahwa telah banyak usaha dari sebagian pemikir liberal untuk mengubah kecondongan tekstual Ushul Fiqh yang selama ini kita ketahui telah melahirkan banyak madzhab pada kurun waktu empat abad pertama hijriyah. Diantaranya adalah mewacanakan kembali kaidah "al-'Ibrah bi khusus al-Lafdhi La bi 'Umum al-Sabab". Namun mereka tidak berhenti di situ saja, bahkan mereka justru berangkat dari kaidah ini guna menuju beberapa kesimpulan yang mengajak kita untuk berani keluar dari "kekuasaan teks" (sulthah an-nash). DR. Hasan Hanafi menjelaskannya sebagaimana berikut, "Dalam perbincangan historisitas al-Quran, hampir semua ayat di dalamnya mempunyai background histories-nya (sabab al-nuzul). Ini berarti teks-teks tersebut turun guna merespon permasalahan dalam tataran realitas waktu itu. Selain itu, dalam al-Quran juga terdapat konsep abrogasi (naskh). An-naskh berarti bahwa hukum-hukum Syariat berubah sesuai dengan berubahnya zaman, bahwa berubahnya zaman mengakibatkan perubahan hukum Syara'; bersifat kontekstual."[8] Kesimpulan-kesimpulan tersebut dikenal juga dengan istilah konsep ta`wil zamany (interpretasi historisitas teks). Pengusung konsep ini mengatakan, "Bentuk kalimat khithob "ya ayyuhan nas" dalam al-Quran al-Karim yang dimaksud adalah umat pertama yang berada dalam masa hidup Nabi Muhammad 'alaihis sholatu was salam, dan mendengar al-Quran langsung dari beliau saw."[9]
Namun, setelah kita bahas kaidah kedua yang di atas, menurut penulis, ada paralogisme (mugholathoh) dalam wacana reaktualisasi kaidah yang dibawa oleh pemikir liberal, karena konskuensi wacana mereka tidaklah sama persis dengan konsekuensi kaidah yang diusung oleh Abu Tsaur, al-Muzanni dan lainnya dari kalangan ulama pendahulu. Para ulama pendahulu tersebut tidak mengklaim kaidah mereka sebagai dasar naskh karena perubahan zaman, dan yang paling mendasar, mereka masih mengakui hujjah lain untuk mengaplikasikan kandungan teks umum pada selain sabab al-nuzul, seperti yang telah dicontonhkan di atas. Mereka masih memungkinkan masuknya konsep ijma' (konsensus), qiyas (analogi) dan dalil lainnya dalam permasalahan ini.
Juga mengenai permasalahan khithab "ya ayyuhan nas" sebenarnya bukanlah hal baru, karena telah dibahas oleh ulama kita. Benar bahwa bentuk khithab "ya ayyuhan nas" adalah ditujukan pada umat yang berada pada masa turunnya khithab tersebut. Hal ini adalah pendapat mayoritas ulama, karena berdasarkan pada tekstual bentuk khithab yang memang secara dalalah-nya hanya patut ditujukan pada umat masa itu. Berbeda dengan kalangan Hanabilah dan Abu al-Yasr dari Hanafiyah, yang mengatakan khithab "ya ayyuhan nas" secara dalalah-nya juga mencakup umat setelahnya. Namun bagaimanapun perbedaan pendapat ini, hanyalah menghasilkan khilaf lafdzy yang tidak berkonsekuensi apapun, termasuk ta`wil zamany. Karena mereka semua sepakat (ijma'), bahwa kandungan khithab "ya ayyuhan nas" dan semisalnya adalah universal, mencakup juga umat setelah masa kenabian, hanya saja mereka berselisih apakah universalitas tersebut berdasarkan dalalah lafadz ataukah qiyas syar'i, ijma' dan sebagainya[10].
Pada akhirnya, paralogisme tersebut haruslah mereka akui, mengingat konsekuensi wacana mereka telah melanggar ijma' ulama, kecuali jika mereka tidak mengakui hujjah ijma', agar bisa menutupi celah kesalahan mereka. Belum lagi, jika kita terapkan wacana mereka, maka akan berakibat kekosongan hukum, sebagaimana dawuh Mbah Sahal, "Sebab jika dalil-dalil al-Quran maupun al-Hadits hanya dipahami dalam konteks ketika diturunkannya, maka akan banyak sekali kasus yang tidak mendapatkan kepastian hukum." Dan jika mereka mengatakan, kekosongan hukum itu adalah kesempatan kita untuk menerapkan metodologi rasional dan meninggalkan metodologi transferensial, maka sekali lagi mereka berbenturan dengan ijma' ulama terdahulu.
Adapun sebagian ijtihad Sy. Umar bin al-Khatthab yang dijadikan referensi contoh wacana mereka, sebenarnya telah banyak ulama kontemporer, seperti DR. M. Sa'id Ramdlam al-Buthy, yang mengkaji kesalahpahaman dalam rujukan mereka. Dengan penjelasan ilmiah yang memuaskan[11], terbukti bahwa ijtihad Sy. Umar ra pun tidak meninggalkan nash atau melanggar ijma'. Dan jika mereka masih kukuh dengan wacana tersebut dan tidak mengakui hujjah ijma', maka tidak akan ada lagi titik temu dalam perdebatan pembaharuan Ushul Fiqh yang mereka kampanyekan.
E. Penutup
Dualisme antara universalitas teks dan historisitasnya dalam Ushul Fiqh ternyata telah menjadi pembahasan klasik ulama Salaf. Namun, pada perbedaan pendapat antar mereka, masih memungkinkan untuk mempertemukannya -dalam beberapa permasalahan furu'iyyah- pada kesepakatan universalitas teks mencakup kasus lain yang serupa dengan background histories-nya (sabab al-nuzul). Begitu pula mengenai perbedaan pendapat dalam khithab "ya ayyuhan nas", hanyalah khilaf lafdzi yang berujung pada konsensus ulama, bahwa Syari'at Islam mencakup pula terhadap umat setelah masa kenabian sampai hari akhir nanti; Alyauma akmaltu lakum dînakum wa atmamtu 'alaikum ni'matî wa rodlîtu lakumul Islâma dînâ.
Ushul Fiqh sebenarnya tidak pernah menutup pintu ijtihad sampai kapan pun, bahkan menunjukkan peta jalan bagi calon mujtahidin yang memang benar-benar berusaha untuk menguasai bidang Fiqh. Namun, sebagaimana dikatakan oleh Sayyid Muhammad bin Bashri al-Seggaff, bahwa Fuqaha' adalah pewaris amanat risalah dengan kemampuan mereka berijtihad, menjelaskan hukum Syariat, yang sebenarnya adalah tugas Rasulallah saw. Terilhami keistimewaan inilah, Ibnu Qoyyim al-Jauziyah (751 H) menamakan kitabnya dengan nama "I'lamul Muwaqqi'in 'an Robbil 'Alamin", yang berarti "Informasi orang-orang yang bertanda tangan atas nama Tuhan semesta alam". Oleh karenanya, sangatlah tidak layak meletakkan teks agama kita pada metodologi yang jauh dari petunjuk Syariat.
Dalam Ushul Fiqh, telah kita pelajari bahwa semua dalil hukum, baik yang muttafaq 'alaih ataupun yang mukhtalaf fih, telah lebih dahulu dibahas tentang kelayakan hujjiyah-nya sebagai dalil hukum Syariat. Maka sudah seharusnya yang mesti dilakukan para pemikir liberal, jika tetap ingin menggunakan konsep mereka, terlebih dahulu menguji kelayakan konsep mereka dengan standar uji dalil yang telah muttafaq 'alaih. Dan pada akhirnya, tetap jelas konsep mereka tidaklah sesuai dengan dalil Syar'i yang lain, terutama ijma'.
Adapun opini miring tentang kejumudan Fiqh karena sempitnya ruang gerak dalam Ushul Fiqh, penulis kira hanyalah sikap "putus asa" akan keterbelakangan peradaban (kalimat dalam tanda petik bisa kita diskusikan bersama). Sebelumnya, telah banyak tuduhan palsu atas Syariat Islam, bahkan banyak orientalis menuduh Fiqh yang pernah jaya pada masa keemasan Islam dahulu, adalah produk hukum yang diserap dari peradaban Romawi. Padahal semua itu adalah produk orisinil dari metodologi Ushul Fiqh yang pada prinsipnya diambil dari semantik gramatikal Arab untuk memahami bahasa teks al-Quran dan al-Hadits, mencakup pula beberapa konsep dalil yang terkelompokkan pada dalalah ma'nawiyah, seperti ijma', qiyas, maslahah mursalah, istihsan, dsb.
Bagaimanapun, aktivitas Fiqh tidak boleh berhenti dan memang tidak pernah berhenti. Banyak ijtihad kolektif yang ditawarkan[12], banyak musyawarah bahtsul masail yang digalakkan, dan banyak fatwa-fatwa ulama yang faqih dibukukan, tanpa melupakan dan tetap menghargai perbedaan pendapat antar ulama yang pada hakikatnya merupakan rahmat bagi kita dalam permasalahan furu'iyyah. Namun, jangan harap kesemuanya akan melegalkan atau menghalalkan segala aktivitas peradaban globalisasi, karena yang halal itu jelas dan yang haram juga sudah jelas!
Wallau a'lam.
___________________________________
[1]. Ushulul Fiqh, Vol: II, Hal: 352-353, DR. Muhammad Abun Nur Zuhair (1407 H./1987 M.), Darul Bashair.
[2]. Namun, yang lebih mu'tamad adalah adanya suatu lafadz yang ketika diucapkan maka bisa difaham kandungan maknanya oleh orang yang mengerti tentang peletakan dasar bahasa. Ushulul Fiqh, DR. Muhammad Abun Nur Zuhair, Vol: II, Hal: 8, Darul Bashair.
[3]. Nuansa Fiqh Sosial, sub tema "Ijtihad Sebagai Kebutuhan", KH. M. A. Sahal Mahfudh.
[4]. Al-Ghoitsul Hami' komentar Jam'ul Jawami', Vol: II, Hal: 398, Abu Zar'ah Ahmad al-'Iroqy (826 H.), cet: al-Faruq al-Haditsah. Lihat juga Ghoyatul Wushul komentar Lubbul Ushul, Hal: 270, Abu Yahya Zakariyya al-Anshary (926 H.) Dinatama Surabaya.
[5]. Al-Ghoitsul Hami' komentar Jam'ul Jawami', Vol: II, Hal: 396. dan Ushulul Fiqh, Vol: II, Hal:352, Darul Bashair. Namun, pendapat masyhur kalangan Malikiyah adalah kaidah yang pertama, lihat Amali al-Dalalat wa Majali al-Ikhtilafat, Hal: 253, Abdullah bin Bayyah, Dar al-Minhaj.
[6]. Ushulul Fiqh, Vol: II, Hal:353, Darul Bashair.
[7]. Amali al-Dalalat wa Majali al-Ikhtilafat, Hal: 255, Abdullah bin Bayyah, Dar al-Minhaj.
[8]. Jurnal Nuansa edisi XVII, Maret 2010, wawancara DR. Hasan Hanafi, Reaktualisasi Metode Pembacaan Turats, Hal: 52, Lakspesdam NU Mesir.
[9]. Ushulul Fiqh, Vol: I, Hal: 23, Mukaddimah dari DR. Muhammad Salim Abu 'Ashi (1407 H./1987 M.), Darul Bashair.
[10]. Al-Ghoitsul Hami' komentar Jam'ul Jawami', Vol: II, Hal: 351. Dalam kitab Taysir al-Tahrir komentar kitab al-Tahrir, bahwa sebenarnya universalitas tersebut sudah bagian ma'lum min al-Din bi al-dlorurah. Taysir al-Tahrir komentar kitab al-Tahrir, Vol: I, Hal: 256, Muhammad Amin Amir Badsyah al-Husaini al-Hanafi, Dar al-Kutub al-Ilmiah.
[11]. Lebih jelasnya, lihat Dlowabith al-Mashlahah, DR. M. Said Romdlon al-Buthi, Hal: 152-175, Dar al-Fikr.
[12]. Mengenai aktivitas Fiqh kontemporer, bisa kita baca penjelasan Syaikh Abdullah bin Bayyah dalam Amali al-Dalalat wa Majali al-Ikhtilafat, Hal: 317 dan mengenai aktivitas ijtihad kolektif pada hal: 659-671, Dar al-Minhaj.
*) Penulis adalah mahasiswa tingkat IV fakultas Syariah, Universitas al-Ahgaff; Tarim-Hadhramaut-Yaman.
Adalah forum diskusi di bawah naungan Departemen Pendidikan Asosiasi Mahasiswa Indonesia (AMI) Al-Ahgaff 2010-2011 M yang fokus mengkaji dua kutub terma: 1. Dirasat Fikriah dengan tema "Mengkaji Pemikiran Tokoh Islam Klasik-Kontemporer". 2. Dirasat Ushul Fiqh dengan tema "Membumikan Ushul Fiqh". Rutinitas acara diselenggarakan satu bulan dua kali di area Kampus Syariah dan Hukum Universitas al-Ahgaff, Tarim, Hadhramaut-Yaman
Kamis, 24 Februari 2011
Senin, 17 Januari 2011
Telaah Kritis Metode Kodifikasi Ushul Fiqih Hanafi
Telaah Kritis Metode Kodifikasi Ushul Fiqih Hanafi
Oleh: Muhammad S
A. Pembukaan
Bagaimana proses kodifikasi Ushul Fiqh Hanafi? Seperti apakah contohnya? Apa saja akibat yang ditimbulkan oleh metode ini? Jika dibandingkan dengan metode ushul fiqh Syafi’iah (Jumhur), metode manakah yang lebih kuat?
Pertanyaan-pertanyaan di atas merupakan ide pokok dari penulisan kajian ini. Untuk menjawabnya, perlu kajian mendalam terhadap buku-buku ushul fiqh Hanafi secara langsung. Karena keterbatasan waktu dan keahlian, akhirnya penulis hanya bisa mencapai informasi yang minim. Dimohon kepada diskusan untuk ikut memperkaya informasi untuk menjawab pertanyaan di atas.
B.Tinjauan Historis Kodifikasi Ushul Fiqh Hanafi
Secara global, buku-buku ushul yang pernah saya baca memberikan informasi bahwa ushul fiqh Hanafi disusun dengan metode induktif, artinya ushul mereka ditulis dengan bertumpu pada furu’ yang telah ditulis oleh para imam mereka (mis. Abu Hanifah (80-150 H), Muhammad bin Hasan(131-189 H), dan Abu Yusuf (113-182 H)). Kemudian ulama generasi berikutnya menyimpulkan suatu kaidah yang bisa dijadikan acuan para mujtahid generasi setelah mereka.
Setelaah melihat beberapa contoh kitab ushul milik ulama Hanafi, seperti ushul Al-Kurkhi (260-340 H) & Al-Baidlowi (w. 685 H), saya dapat menyimpulkan bahwa informasi di atas adalah benar. Karena memang mereka mengambil kesimpulan kaidah ushuliyyah dari contoh-contoh hasil ijtihad Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf & Muhammad bin Hasan.
Namun, ada juga pendapat yang menyebutkan bahwa ulama Hanafiah dalam menyusun kaidah ushuliyyah terbagi menjadi dua golongan;
1. Golongan yang memiliki dua keahlian sekaligus (ilmu fiqh dan ushul fiqh). Tulisan mereka sangat compatabel dan akurat. Mereka mampu menjabarkan kaidah ushuliyyah dengan hujjah yang kuat tanpa harus keluara dari madzhab. Contohnya adalah Kitabul Jadal karya Imam Maturidi (w. 330 H).
2. Golongan yang lebih cenderung ke dalam ilmu fiqh disebabkan ilmu ushul mereka yang kurang mumpuni. Karya-karya mereka lebih cenderung ke ilmu furu’. Bahkan tidak sedikit yang mendahulukan pernyataan-pernyataan kaidah ushul dari madzhab lain1.
Dari keterangan di atas, Dr. Jalaluddin Abdurrahman berkesimpulan bahwa pada mulanya ulama Hanafiah memiliki cara penulisan kaidah ushul tersendiri, bukan seperti cara ushul yang masyhur dinisbatkan pada mereka saat ini. Akan tetapi, karena cara yang kedua lebih banyak diikuti oleh ulama mereka, akhirnya mereka lebih dikenal dengan ulama ushul 'ala Fuqaha2.
C.Ciri-ciri Ushul Fiqh Hanafi
1. Kaidah ushul fiqh mereka didasarkan pada masalah furu’iyyah.
Penyebabnya adalah karena Imam Abu Hanifah tidak meninggalkan kitab yang berisi kaidah ushuliyyah yang dapat dijadikan acuan. Tidak heran jika para ulama generaasi berikutnya terpaksa harus mengambil kaidah ushul dari masalah furu’iyyah yang sudah ada dengan cara mengambil kesimpulan atas beberapa contoh masalah yang sama. Untuk lebih jelas, akan saya berikan contoh pada poin berikutnya.
2. Karya-karya ushul mereka dipenuhi dengan permasalahan-permasalahan fiqh.
3. Terkadang mereka terpaksa membuat kaidah khusus demi mendukung satu permasalahan fiqh.
Misalnya, mereka telah membuat satu kaidah. Kemudian ada salah satu contoh masalah yang tidak dapat dimasukkan dalam kaidah tersebut -karena Sang Imam menentukan hukum masalah ini tidak sama dengan masalah-masalah lain yang sejenisnya-, maka mereka membuat kaidah khusus untuk mendukung masalah ini.
D. Contoh Penulisan Ushul Fiqh Hanafi
Sebenarnya, setiap orang yang membaca kitab ushul Hanafi akan langsung menemukan contoh metode penulisan ala thoriqatil Fuqaha. Dalam kesempatan ini, saya akan menuliskan satu contoh saja;
“Lafadz yang bersifat umum ('aam) mencakup setiap unit di bawahnya (afrodul 'aam) secaara qoth’i. Dalam artian semua unit yang masuk dalam cakupan kata umum, hukumnya sama rata dengan lafadz umum tersebut. Jika kata umum tersebut bersifat qoth’i, maka semua unit cakupannya pun bersifat qoth'i dan tidak dapat dikecualikan kecuali dengan dalil yang qoth'i.” Kaidah ini menjadikan dilalah lafadh umum setara dengan dilalah lafadh khusus dan lafadh umum bisa menghapus (naskh) lafadh khusus saat terjadi kontradiksi."
Pernyataan di atas merupakan kaidah ushuliyyah yang berlaku untuk semua lafadz umum. Dalam menetapkan kaidah di atas ulama Hanafi bertumpu pada masa'il furu’iyyah yang mereka ambil dari para pendahulu mereka. Diantaranya:
1. Pendapat Muhammad bin Hasan tentang permasalahan wasiat;
Jika ada seseorang berwasiat agar cincinnya diberikan pada si A kemudian di waktu lain dia berwasiat agar batu mata cincin tersebut diberikan pada si B, maka si A berhak mendapatkan ring cincin. Sedangkan batu mata cicin, dibagi dua antara si A dan si B. Hal ini karena kata cincin pada wasiat pertama mencakup ring cincin dan batu matanya. Sedangkan pada wasiat yang kedua, hanya matanya saja. Wasiat yang kedua tidak bisa mengeliminasi (naskh) wasiat yang pertama, karena memang batu mata cincin masuk dalam wasiat pertama (melalui lafadh aam), namun karena kedua wasiat itu sah, maka batu mata cincin dibagi dua.
Andai saja wasiat kedua itu diucapkan pada satu majlis tanpa ada jeda antara dua wasiat, maka si A hanya berhak ring cincin saja tanpa batu matanya, kaarena lafadz cincin yang dimaksudkan tidak mencakup batu matanya.
2. Pendapat Muhammad bin Hasan dalam bab Mudharabah. Jika 'Amil dan Rabbul maal berselisih tentang lafadz umum dan khusus, maka yang dimenangkan adalah pihak yang mengatakan lafadz umum. Hal ini menunjukkan kedudukkan lafadh umum sejajar dengan lafadh khusus.
3. Madzhab Imam Abu Hanifah dalam men-tarjih hadist Nabi saw. yang mengandung lafadh umum; “Barang siapa menggali sumur, maka ia memiliki hak atas tanah di sekitarnya seluas 40 dzira’." Dan beliau meninggalkan hadits yang menunjukkan lafadz khusus, yaitu hadits sumur Nadhih, yang mengaatakan bahwa penggalinya berhak atas tanah di sekitarnya seluas 60 dzira’.
4. Madzhab Imam Abu Hanifah dalam men-tarjih hadits; “Semua yang disirami dengan air hujan, (zakatnya) adalah sepersepuluh!” dan meninggalkan hadits khusus; “Tidak diwajibkan berzakat atas sayur-mayur!”, plus hadits “Tidak diwajibkan berzakat atas hasil panen yang kurang dari lima ausaq.”
5. Madzhab Imam Abu Hanifah yang menjadikan hadits umum; “Hindarilah air kencing! Karena kebanyakan adzab kubur itu dari air kencing.” Sebagai penghapus (naasikh) hadits khusus, yaitu hadits ‘Uraniyyin yang diperintah minum susu onta dan kencingnya.
Contoh di atas sangat jelas menunjukkan bahwa kaidah ushuliyyah mereka didasarakan pada masalah furu’iyah. Pernyataan ini didukung oleh pernyataan tegas Imam Assarkhosy (w. 490 H), setelah menyebutkan kaidah ushul di atas dan sebelum menyebutkan furu’-furu’ , beliau menegaskan; فعلى هذا دلت مسائل علمائنا رحمه الله تعالى3 .
Jika anda masih ingin melihat contoh yang lain, silahkan baca referensi terlampir.
E. Pengaruh Metode Ini dalam Menghasilkan Kaidah Ushul
Kaidah ushul yang dibuat dengan mengunakan metode seperti ini sangat baik jika digunakan untuk mendukung madzhab sendiri. Karena semua kaidah disesuaikan dengan furu’. Bahkan, jika ada beberapa furu’ yang keluar dari kaidah, maka mereka akan membuat kaidah tersendiri untuk mendukung furu’ tersebut, seperti yang saya terangkan di atas.
Contohnya, kaidah dalam contoh yang saya sebutkan di atas menyatakan; bahwa lafadz umum mencakup setiap unit yang ada di bawahnya secara qoth’i. Jadi, jika ada lafadh umum dalam dalil qoth'i, kita tidak boleh mengecualikan satu unit pun dengan menggunakan dalil dhanni (seperti qiyas dan hadits ahad).
Ketika dalam furu’ mereka terdapat contoh lafadz umum yang dikecualikan dengan menggunakan hadits yang dla'if, mereka membuat satu kaidah khusus agar permasalahan ini bisa dipertanggungjawabkan dalam perdebatan ushuli.
Kaidah itu adalah; "Lafadz umum dari dalil qoth'i dapat di-takhshis dengan dalil dhanni (hadits ahad & qiyas), jika lafadz tersebut sudah pernah di-takhsis sebelumnya."
Contoh :
Ayat : الزانية والزاني فاجلدوا كل واحد منهما مائة جلدة
Menunjukkan bahwa semua orang yang berzina, baik di dalam Negara Islam ataupun di luar Negara Islam, harus dicambuk seratus kali. Ulama Hanafi mengatakan bahwa pezina di luar Negara Islam tidak wajib dicambuk. Dalilnya adalah hadits : لا تقاموا الحدود في دار الحرب
Padahal semuanya tahu, hadits tersebut dla'if.
Jawaban mereka adalah; Bahwa ayat tersebut sebelumnya sudah pernah di-takhshis, maka ia boleh di-takhshis dengan hadits ahad yang dla'if.
Takhshis yang mereka maksud adalah dlamir منهما yang kembali pada الزانية والزاني menunjukkan bahwa jika zinanya bukan laki-laki dan perempuan, maka tidak wajib dicambuk4.
Dari contoh ini, kita dapat menyimpulkan bahwa kaidah mereka bersifat fleksibel terhadap furu’-nya. Sedangkan kita tahu bahwa seharusnya kaidah adalah acuan untuk menentukan hukum furu’. Furu’-lah yang tunduk pada kaidah, bukan sebaliknya!
Dan inilah salah satu kelemahan metode penulisan ushul ala thoriqoh fuqoha..!
Kelemahan ini pula yang sering digunakan para ulama yang berbeda paham dengan mereka untuk melemahkan hujjah mereka, karena banyak furu’ yang tidak sesuai dengan kaidah ushul mereka.
Akan tetapi, mereka bukan ulama kelas teri yang tidak dapat menjawab setiap persoalan yang datang. Mereka selalu memiliki seribu alasan untuk menjawab semua pertanyaan.
F. Perbandingan antara Ushul Fiqh Jumhur dan Ushul Fiqh Hanafiyah
Setelah membaca sekilas pemaparan tentang ushul fiqh Hanafiah, kesimpulan saya adalah bahwa ushul Jumhur lebih kuat dan lebih dapat dipertanggungjawabkan. Karena beberapa alasan berikut:
1. Ushul Fiqh Jumhur memiliki acuan yang paten dari satu sumber yang memungkinkan keseragaman seluruh kaidah, tanpa harus membuat-buat kaidah baru demi mendukung madzhab. Bahkan, tidak sedikit ketetapan madzhab dirubah karena tidak sesuai dengan kaidah ushul.
Sedangkan ushul Hanafiah membuat kaidah demi menguatkan ketentuan madzhab.
2. Karya-karya ushul fiqh Jumhur murni pendekatan kaidah ushul fiqh, sehingga hasilnya merupakan sebuah kaidah yang menjadi barometer dalam mengambil hukum furu’.
Sedangkan karya-karya ushul fiqh Hanafiah penuh dengan perdebatan fiqh, dan jauh dari perdebatan ushul. Hal ini menjadikan hasil kaidah ushul mereka kurang luas dan terlalu sempit pada beberapa contoh kasus furu’ saja.
3. Ilmu manthiq sebagai pendukung ilmu ushul fiqh Jumhur tidak banyak digunakan oleh ushul fiqh Hanafi. Hal ini menyebabkan ushul fiqh Hanafi kurang rasional, meskipun kadar irasionalnya sangat rendah.
Terlepas dari itu semua, ada beberapa kesamaan ushul fiqh Jumhur dan Hanafi dalam karya-karya mereka yang menjadikan kita tidak boleh mengesampingkan ushul fiqh Hanafi.
Di samping itu, ada beberapa ulama yang telah mencoba mempertemukan kedua perguruan ini. Diantaranya adalah Jam’ul Jawami’, At-Tahrir & At-Tanqih.
Bahkan dari kajian yang dilakukan para ulama menunjukkan bahwa hanya ada sedikit perbedaan antara dua perguruan ushul tersebut.
G. Penutup
Dari keterangan diatas, penulis menawarkan dua pertanyaan untuk bisa didiskusikan :
1. Apakah kesimpulan sementara penulis tentang kebenaran informasi sekilas metode kodifikasi ala thoriqotul fuqoha dapat diterima? Jika ya, bagaimana dengan kesimpulan Dr. Jalaluddin tentang adanya kodifikasi ushul fiqh Hanafi dengan thoriqoh ushuliyyin?
2. Apakah kesimpulan sementara penulis tentang keunggulan ushul fiqh Jumhur dapat diterima? Jika tidak, jelaskan argumen Anda dengan jelas! Jika ya, mohon bisa memberikan argumen tambahan untuk menguatkan argumen yang sudah ada.
Jika dua pertanyaan di atas dianggap terlalu sempit, maka diskusan berhak mengajukan pertanyaan lain untuk didiskusikan.
Demikianlah sedikit kajian yang dapat saya tulis. Saya yakin kajian ini banyak memiliki kekurangan. Dengan sangat rendah hati, saya berharap kepada para diskusan untuk mengkritisi kajian ini dengan tanpa mengabaikan etika ilmiah.
Jika diskusan berkenan membuat kajian tandingan, maka tentu akan lebih menarik!
Catatan Kaki;
1. Muhammad bin Ahmad Assamarqondi, Mizanul Ushul. Lihat di Kasyfudh-Dhunun (1/81). Maktabah Syamilah.
2. Ghoyatul Wushul, Dr. Jalaluddin Abdurrahman.
3. Ushul Al-Sarkhosi (1/132), Maktabah Syamilah.
4. Atsarul Ikhtilaf, Mustofa Khin, hal 227-228.
F. Sumber / Lampiran
1. Ghoyatul Wushul Ila Daqoiqil Ilmil Ushul, Dr. Jalaluddin Abdurrahman
2. Atsarul Adillah Al-Mukhtalaf Fiha, Dr. Musthofa Bugho, Maktabah Dar Ilm Bairut Lebanon
3. Atsarul Ikhtilah Fi Al-Qowaid Al-Ushuliah fi Al-Furu' Al-Fiqhiah, Dr. Musthofa Khin
4. Ushulul Sarkhosi, Mahmud Bin Ahmad As-Sarkhosi.
5. Kasyful Asror Syarah Ushulul Bazdawi, Abdul Aziz Bin Ahmad Al-Bukhori.
6. Al-Wajiz Fi Ushul Fiqh, Dr. Hasan Hito.
7. At-Talwih Ala Taudhih, Sa’duddin At-Taftazani.
8. Al-Fushul Fil Ushul, Abu Bakr Al-Jashos.
9. Kasyfu Al-Dzunun, Haji Kholifah.
10. Tathowwur Al-Fikr Al-Ushuli Al-Hanafi, Dr. Haitsam Khuznah. (belum ditemukan)
11. Al-A'lam, az-Zarkaly..
* Penulis adalah Mahasiswa tingkat V, Fakultas Syarea-Universitas al-Ahgaff; Tarem, Hadramaut-Yaman
Oleh: Muhammad S
A. Pembukaan
Bagaimana proses kodifikasi Ushul Fiqh Hanafi? Seperti apakah contohnya? Apa saja akibat yang ditimbulkan oleh metode ini? Jika dibandingkan dengan metode ushul fiqh Syafi’iah (Jumhur), metode manakah yang lebih kuat?
Pertanyaan-pertanyaan di atas merupakan ide pokok dari penulisan kajian ini. Untuk menjawabnya, perlu kajian mendalam terhadap buku-buku ushul fiqh Hanafi secara langsung. Karena keterbatasan waktu dan keahlian, akhirnya penulis hanya bisa mencapai informasi yang minim. Dimohon kepada diskusan untuk ikut memperkaya informasi untuk menjawab pertanyaan di atas.
B.Tinjauan Historis Kodifikasi Ushul Fiqh Hanafi
Secara global, buku-buku ushul yang pernah saya baca memberikan informasi bahwa ushul fiqh Hanafi disusun dengan metode induktif, artinya ushul mereka ditulis dengan bertumpu pada furu’ yang telah ditulis oleh para imam mereka (mis. Abu Hanifah (80-150 H), Muhammad bin Hasan(131-189 H), dan Abu Yusuf (113-182 H)). Kemudian ulama generasi berikutnya menyimpulkan suatu kaidah yang bisa dijadikan acuan para mujtahid generasi setelah mereka.
Setelaah melihat beberapa contoh kitab ushul milik ulama Hanafi, seperti ushul Al-Kurkhi (260-340 H) & Al-Baidlowi (w. 685 H), saya dapat menyimpulkan bahwa informasi di atas adalah benar. Karena memang mereka mengambil kesimpulan kaidah ushuliyyah dari contoh-contoh hasil ijtihad Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf & Muhammad bin Hasan.
Namun, ada juga pendapat yang menyebutkan bahwa ulama Hanafiah dalam menyusun kaidah ushuliyyah terbagi menjadi dua golongan;
1. Golongan yang memiliki dua keahlian sekaligus (ilmu fiqh dan ushul fiqh). Tulisan mereka sangat compatabel dan akurat. Mereka mampu menjabarkan kaidah ushuliyyah dengan hujjah yang kuat tanpa harus keluara dari madzhab. Contohnya adalah Kitabul Jadal karya Imam Maturidi (w. 330 H).
2. Golongan yang lebih cenderung ke dalam ilmu fiqh disebabkan ilmu ushul mereka yang kurang mumpuni. Karya-karya mereka lebih cenderung ke ilmu furu’. Bahkan tidak sedikit yang mendahulukan pernyataan-pernyataan kaidah ushul dari madzhab lain1.
Dari keterangan di atas, Dr. Jalaluddin Abdurrahman berkesimpulan bahwa pada mulanya ulama Hanafiah memiliki cara penulisan kaidah ushul tersendiri, bukan seperti cara ushul yang masyhur dinisbatkan pada mereka saat ini. Akan tetapi, karena cara yang kedua lebih banyak diikuti oleh ulama mereka, akhirnya mereka lebih dikenal dengan ulama ushul 'ala Fuqaha2.
C.Ciri-ciri Ushul Fiqh Hanafi
1. Kaidah ushul fiqh mereka didasarkan pada masalah furu’iyyah.
Penyebabnya adalah karena Imam Abu Hanifah tidak meninggalkan kitab yang berisi kaidah ushuliyyah yang dapat dijadikan acuan. Tidak heran jika para ulama generaasi berikutnya terpaksa harus mengambil kaidah ushul dari masalah furu’iyyah yang sudah ada dengan cara mengambil kesimpulan atas beberapa contoh masalah yang sama. Untuk lebih jelas, akan saya berikan contoh pada poin berikutnya.
2. Karya-karya ushul mereka dipenuhi dengan permasalahan-permasalahan fiqh.
3. Terkadang mereka terpaksa membuat kaidah khusus demi mendukung satu permasalahan fiqh.
Misalnya, mereka telah membuat satu kaidah. Kemudian ada salah satu contoh masalah yang tidak dapat dimasukkan dalam kaidah tersebut -karena Sang Imam menentukan hukum masalah ini tidak sama dengan masalah-masalah lain yang sejenisnya-, maka mereka membuat kaidah khusus untuk mendukung masalah ini.
D. Contoh Penulisan Ushul Fiqh Hanafi
Sebenarnya, setiap orang yang membaca kitab ushul Hanafi akan langsung menemukan contoh metode penulisan ala thoriqatil Fuqaha. Dalam kesempatan ini, saya akan menuliskan satu contoh saja;
“Lafadz yang bersifat umum ('aam) mencakup setiap unit di bawahnya (afrodul 'aam) secaara qoth’i. Dalam artian semua unit yang masuk dalam cakupan kata umum, hukumnya sama rata dengan lafadz umum tersebut. Jika kata umum tersebut bersifat qoth’i, maka semua unit cakupannya pun bersifat qoth'i dan tidak dapat dikecualikan kecuali dengan dalil yang qoth'i.” Kaidah ini menjadikan dilalah lafadh umum setara dengan dilalah lafadh khusus dan lafadh umum bisa menghapus (naskh) lafadh khusus saat terjadi kontradiksi."
Pernyataan di atas merupakan kaidah ushuliyyah yang berlaku untuk semua lafadz umum. Dalam menetapkan kaidah di atas ulama Hanafi bertumpu pada masa'il furu’iyyah yang mereka ambil dari para pendahulu mereka. Diantaranya:
1. Pendapat Muhammad bin Hasan tentang permasalahan wasiat;
Jika ada seseorang berwasiat agar cincinnya diberikan pada si A kemudian di waktu lain dia berwasiat agar batu mata cincin tersebut diberikan pada si B, maka si A berhak mendapatkan ring cincin. Sedangkan batu mata cicin, dibagi dua antara si A dan si B. Hal ini karena kata cincin pada wasiat pertama mencakup ring cincin dan batu matanya. Sedangkan pada wasiat yang kedua, hanya matanya saja. Wasiat yang kedua tidak bisa mengeliminasi (naskh) wasiat yang pertama, karena memang batu mata cincin masuk dalam wasiat pertama (melalui lafadh aam), namun karena kedua wasiat itu sah, maka batu mata cincin dibagi dua.
Andai saja wasiat kedua itu diucapkan pada satu majlis tanpa ada jeda antara dua wasiat, maka si A hanya berhak ring cincin saja tanpa batu matanya, kaarena lafadz cincin yang dimaksudkan tidak mencakup batu matanya.
2. Pendapat Muhammad bin Hasan dalam bab Mudharabah. Jika 'Amil dan Rabbul maal berselisih tentang lafadz umum dan khusus, maka yang dimenangkan adalah pihak yang mengatakan lafadz umum. Hal ini menunjukkan kedudukkan lafadh umum sejajar dengan lafadh khusus.
3. Madzhab Imam Abu Hanifah dalam men-tarjih hadist Nabi saw. yang mengandung lafadh umum; “Barang siapa menggali sumur, maka ia memiliki hak atas tanah di sekitarnya seluas 40 dzira’." Dan beliau meninggalkan hadits yang menunjukkan lafadz khusus, yaitu hadits sumur Nadhih, yang mengaatakan bahwa penggalinya berhak atas tanah di sekitarnya seluas 60 dzira’.
4. Madzhab Imam Abu Hanifah dalam men-tarjih hadits; “Semua yang disirami dengan air hujan, (zakatnya) adalah sepersepuluh!” dan meninggalkan hadits khusus; “Tidak diwajibkan berzakat atas sayur-mayur!”, plus hadits “Tidak diwajibkan berzakat atas hasil panen yang kurang dari lima ausaq.”
5. Madzhab Imam Abu Hanifah yang menjadikan hadits umum; “Hindarilah air kencing! Karena kebanyakan adzab kubur itu dari air kencing.” Sebagai penghapus (naasikh) hadits khusus, yaitu hadits ‘Uraniyyin yang diperintah minum susu onta dan kencingnya.
Contoh di atas sangat jelas menunjukkan bahwa kaidah ushuliyyah mereka didasarakan pada masalah furu’iyah. Pernyataan ini didukung oleh pernyataan tegas Imam Assarkhosy (w. 490 H), setelah menyebutkan kaidah ushul di atas dan sebelum menyebutkan furu’-furu’ , beliau menegaskan; فعلى هذا دلت مسائل علمائنا رحمه الله تعالى3 .
Jika anda masih ingin melihat contoh yang lain, silahkan baca referensi terlampir.
E. Pengaruh Metode Ini dalam Menghasilkan Kaidah Ushul
Kaidah ushul yang dibuat dengan mengunakan metode seperti ini sangat baik jika digunakan untuk mendukung madzhab sendiri. Karena semua kaidah disesuaikan dengan furu’. Bahkan, jika ada beberapa furu’ yang keluar dari kaidah, maka mereka akan membuat kaidah tersendiri untuk mendukung furu’ tersebut, seperti yang saya terangkan di atas.
Contohnya, kaidah dalam contoh yang saya sebutkan di atas menyatakan; bahwa lafadz umum mencakup setiap unit yang ada di bawahnya secara qoth’i. Jadi, jika ada lafadh umum dalam dalil qoth'i, kita tidak boleh mengecualikan satu unit pun dengan menggunakan dalil dhanni (seperti qiyas dan hadits ahad).
Ketika dalam furu’ mereka terdapat contoh lafadz umum yang dikecualikan dengan menggunakan hadits yang dla'if, mereka membuat satu kaidah khusus agar permasalahan ini bisa dipertanggungjawabkan dalam perdebatan ushuli.
Kaidah itu adalah; "Lafadz umum dari dalil qoth'i dapat di-takhshis dengan dalil dhanni (hadits ahad & qiyas), jika lafadz tersebut sudah pernah di-takhsis sebelumnya."
Contoh :
Ayat : الزانية والزاني فاجلدوا كل واحد منهما مائة جلدة
Menunjukkan bahwa semua orang yang berzina, baik di dalam Negara Islam ataupun di luar Negara Islam, harus dicambuk seratus kali. Ulama Hanafi mengatakan bahwa pezina di luar Negara Islam tidak wajib dicambuk. Dalilnya adalah hadits : لا تقاموا الحدود في دار الحرب
Padahal semuanya tahu, hadits tersebut dla'if.
Jawaban mereka adalah; Bahwa ayat tersebut sebelumnya sudah pernah di-takhshis, maka ia boleh di-takhshis dengan hadits ahad yang dla'if.
Takhshis yang mereka maksud adalah dlamir منهما yang kembali pada الزانية والزاني menunjukkan bahwa jika zinanya bukan laki-laki dan perempuan, maka tidak wajib dicambuk4.
Dari contoh ini, kita dapat menyimpulkan bahwa kaidah mereka bersifat fleksibel terhadap furu’-nya. Sedangkan kita tahu bahwa seharusnya kaidah adalah acuan untuk menentukan hukum furu’. Furu’-lah yang tunduk pada kaidah, bukan sebaliknya!
Dan inilah salah satu kelemahan metode penulisan ushul ala thoriqoh fuqoha..!
Kelemahan ini pula yang sering digunakan para ulama yang berbeda paham dengan mereka untuk melemahkan hujjah mereka, karena banyak furu’ yang tidak sesuai dengan kaidah ushul mereka.
Akan tetapi, mereka bukan ulama kelas teri yang tidak dapat menjawab setiap persoalan yang datang. Mereka selalu memiliki seribu alasan untuk menjawab semua pertanyaan.
F. Perbandingan antara Ushul Fiqh Jumhur dan Ushul Fiqh Hanafiyah
Setelah membaca sekilas pemaparan tentang ushul fiqh Hanafiah, kesimpulan saya adalah bahwa ushul Jumhur lebih kuat dan lebih dapat dipertanggungjawabkan. Karena beberapa alasan berikut:
1. Ushul Fiqh Jumhur memiliki acuan yang paten dari satu sumber yang memungkinkan keseragaman seluruh kaidah, tanpa harus membuat-buat kaidah baru demi mendukung madzhab. Bahkan, tidak sedikit ketetapan madzhab dirubah karena tidak sesuai dengan kaidah ushul.
Sedangkan ushul Hanafiah membuat kaidah demi menguatkan ketentuan madzhab.
2. Karya-karya ushul fiqh Jumhur murni pendekatan kaidah ushul fiqh, sehingga hasilnya merupakan sebuah kaidah yang menjadi barometer dalam mengambil hukum furu’.
Sedangkan karya-karya ushul fiqh Hanafiah penuh dengan perdebatan fiqh, dan jauh dari perdebatan ushul. Hal ini menjadikan hasil kaidah ushul mereka kurang luas dan terlalu sempit pada beberapa contoh kasus furu’ saja.
3. Ilmu manthiq sebagai pendukung ilmu ushul fiqh Jumhur tidak banyak digunakan oleh ushul fiqh Hanafi. Hal ini menyebabkan ushul fiqh Hanafi kurang rasional, meskipun kadar irasionalnya sangat rendah.
Terlepas dari itu semua, ada beberapa kesamaan ushul fiqh Jumhur dan Hanafi dalam karya-karya mereka yang menjadikan kita tidak boleh mengesampingkan ushul fiqh Hanafi.
Di samping itu, ada beberapa ulama yang telah mencoba mempertemukan kedua perguruan ini. Diantaranya adalah Jam’ul Jawami’, At-Tahrir & At-Tanqih.
Bahkan dari kajian yang dilakukan para ulama menunjukkan bahwa hanya ada sedikit perbedaan antara dua perguruan ushul tersebut.
G. Penutup
Dari keterangan diatas, penulis menawarkan dua pertanyaan untuk bisa didiskusikan :
1. Apakah kesimpulan sementara penulis tentang kebenaran informasi sekilas metode kodifikasi ala thoriqotul fuqoha dapat diterima? Jika ya, bagaimana dengan kesimpulan Dr. Jalaluddin tentang adanya kodifikasi ushul fiqh Hanafi dengan thoriqoh ushuliyyin?
2. Apakah kesimpulan sementara penulis tentang keunggulan ushul fiqh Jumhur dapat diterima? Jika tidak, jelaskan argumen Anda dengan jelas! Jika ya, mohon bisa memberikan argumen tambahan untuk menguatkan argumen yang sudah ada.
Jika dua pertanyaan di atas dianggap terlalu sempit, maka diskusan berhak mengajukan pertanyaan lain untuk didiskusikan.
Demikianlah sedikit kajian yang dapat saya tulis. Saya yakin kajian ini banyak memiliki kekurangan. Dengan sangat rendah hati, saya berharap kepada para diskusan untuk mengkritisi kajian ini dengan tanpa mengabaikan etika ilmiah.
Jika diskusan berkenan membuat kajian tandingan, maka tentu akan lebih menarik!
Catatan Kaki;
1. Muhammad bin Ahmad Assamarqondi, Mizanul Ushul. Lihat di Kasyfudh-Dhunun (1/81). Maktabah Syamilah.
2. Ghoyatul Wushul, Dr. Jalaluddin Abdurrahman.
3. Ushul Al-Sarkhosi (1/132), Maktabah Syamilah.
4. Atsarul Ikhtilaf, Mustofa Khin, hal 227-228.
F. Sumber / Lampiran
1. Ghoyatul Wushul Ila Daqoiqil Ilmil Ushul, Dr. Jalaluddin Abdurrahman
2. Atsarul Adillah Al-Mukhtalaf Fiha, Dr. Musthofa Bugho, Maktabah Dar Ilm Bairut Lebanon
3. Atsarul Ikhtilah Fi Al-Qowaid Al-Ushuliah fi Al-Furu' Al-Fiqhiah, Dr. Musthofa Khin
4. Ushulul Sarkhosi, Mahmud Bin Ahmad As-Sarkhosi.
5. Kasyful Asror Syarah Ushulul Bazdawi, Abdul Aziz Bin Ahmad Al-Bukhori.
6. Al-Wajiz Fi Ushul Fiqh, Dr. Hasan Hito.
7. At-Talwih Ala Taudhih, Sa’duddin At-Taftazani.
8. Al-Fushul Fil Ushul, Abu Bakr Al-Jashos.
9. Kasyfu Al-Dzunun, Haji Kholifah.
10. Tathowwur Al-Fikr Al-Ushuli Al-Hanafi, Dr. Haitsam Khuznah. (belum ditemukan)
11. Al-A'lam, az-Zarkaly..
* Penulis adalah Mahasiswa tingkat V, Fakultas Syarea-Universitas al-Ahgaff; Tarem, Hadramaut-Yaman
Langganan:
Komentar (Atom)